Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Monopoli Politik: Dadu Kebijakan Publik dan Obral Kekuasaan

 

Gambar oleh wildpixel, diunduh melalui istockphoto.com

Penulis: Yogaraksa Ananta (Ketua Bidang HPKP Koorkom IMM UINSA)


Monopoli, tentu kita tak asing dengan permainan itu, mungkin beranjak dewasa kita masih memainkan permainan yang berisikan dadu, uang, peta wilayah dan kartu keberuntungan ini.

Permainan yang biasanya dimainkan oleh maksimal empat orang, serasa mengasyikkan dan menggembirakan, yang dimana ketika bermain kita merasa seperti para elite menggerakkan perputaran ekonomi beserta pengaruhnya.

Sungguh asyik ketika bermain tatkala masih usia anak-anak. Namun, keasyikan itu telah menjadi momok yang menakutkan ketika monopoli terjadi di dunia maya. 

Monopoli di dunia maya saat ini tak terlepas dari pengaruh sistem ideologi politik, yang dimana sistem kapitalisme merajalela pada sektor perekonomian, politik dan budaya.

Sistem kapitalis yang hampir menghegemoni sebagian besar sektor kehidupan bahkan negara, hal itu hasil dari mereka memenangkan kontestasi dengan ideologi-ideologi di dunia, seperti, liberalisme, sosialisme, bahkan feodalisme. 

Kapitalisme dan monopoli, kedua elemen itu saling berkaitan,  hanya mereka pemilik modal saja yang bisa menguasai sistem ekonomi dan politik serta memainkan berbagai cara untuk memenangkan kepentingan masing-masing.

Ikhwal itu, tentu telah kita rasakan dan kita mainkan ketika masih kecil. Dus, dewasa ini penulis sadar, monopoli menjadi praktik yang mengerikan dalam koridor kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. 

Mbok, ternyata tak seasyik ketika bermain permainan monopoli.  Justru dewasa ini permainan monopoli secara dunia maya, dimainkan oleh mereka-mereka yang rakus kekuasaan dan jabatan, kepentingan mereka untuk memenangkan tujuan mereka telah merangsak segala ruang kehidupan masyarakat, lebih mengerikan lagi dalam koridor politik. 

Jika kehidupan politik, atau publik menjadi tumbal untuk mewujudkan kepentingan mereka. Maka, sistem kebijakan publik akan berorientasi pada mereka yang memiliki modal, dan menghiraukan kepentingan rakyat. Tentu saja, peran rakyat disini mungkin hanya sebagai komoditas politik untuk meraup kepentingan kelompok saja. 

Khususnya Indonesia, sebagai salah satu negara yang memakai sistem demokrasi dalam menjalankan sistem pemerintahan, dewasa ini demokrasi hanya menjadi konter narasi terhadap golongan-golongan yang ingin memperjuangkan sistem selain demokrasi.

Hal ini dibuktikan melalui tindakan-tindakan pejabat pemerintahan yang tidak demokratis, salah satunya seperti mengesahkan kebijakan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat sipil, yang tentu dampaknya merugikan. 

Sejalan dengan itu, para pemangku kebijakan publik pada tataran eksekutif dan legislatif perlu untuk merefleksikan diri agar memantaskan diri sebagai katalisator demokrasi.

Bagaimana bisa mereka dianggap sebagai katalisator demokrasi jika perumusan kebijakan publik tidak melibatkan masyarakat? Bahkan seringkali masyarakat menjadi korban bengisnya implementasi kebijakan publik yang mempengaruhi kehidupan mereka. 

Terkadang, ada sejumlah gonjang-ganjing terkait pengesahan kebijakan publik yang menimbulkan konflik di masyarakat. Seperti, UU Omnibuslaw, UU Ciptaker, UU PKPU, hingga UU TNI. 

Munculnya rancangan hingga pengesahan undang-undang diatas, berawal dari proses legislasi yang ada di DPR RI. Adapun secara fungsi, DPR memiliki tiga fungsi, diantaranya legislasi, pengawasan dan anggaran. Fungsi legislasi, mempunyai peran krusial dalam merancang sebuah undang-undang. 

Terkadang fungsi legislasi ini biasanya memiliki celah kepentingan dengan tidak melibatkan partisipasi kepentingan masyaraat sipil sehingga melunturkan esensi demokrasi. Bukankah dalam demokrasi suara rakyat ialah suara tuhan?

Praktik-praktik diatas persis permainan monopoli, hanya mereka yang memiliki banyak modal yang bisa untuk mengakses kepentingan peta politik dari sebuah permainan. Na’as rakyat hanya sebagai komoditas politik hanya bisa menonton tanpa bisa melawan kedzaliman tersebut. 

Apalagi, pasca pemilu nampaknya partai politik dan aktor-aktor politik yang kalah bersaing dengan lawan politiknya, seiring waktu menunjukan dekadensi idealitasnya, yang mana didukung dengan merapat kepada lawan politik secara keberpihakan dan misi.

Jika ditinjau secara psikologis hal ini merupakan sesuatu yang lumrah seperti tinjauan teori kepribadian sosial-kognitif, yang mana menerangkan bahwa kepribadian manusia terbentuk oleh interaksi antara sifat-sifat manusia dan lingkungan sosial (Bandura, 1970)

Namun, dalam konteks politik menurut penulis dinamisnya langkah politik merupakan sesuatu yang menciderai harapan masyarakat. Meskipun manusia dinamis, tetapi dalam konteks politik hal itu bertentangan dengan esensi politik yang berorientasi kepentingan bersama.

Konteks kepentingan bersama tentu memiliki nilai yang dipegang oleh partai politik dan aktor politik seperti nilai-nilai idealitas. 

Idealitas tampaknya menjadi hal yang mahal di era politik modern saat ini, segala dinamika politik yang berjalan di era kapitalisme ini culasnya membeli idealitas yang seharusnya dimiliki oleh partai politik beserta aktornya.

Bagaimana tidak, visi dan misi politik menjadi tidak idealis ketika iming-iming material di depan pelapak mata, kepentingan politik yang mengarah ke kesejahteraan sosial seakan merosot ketika dihadapkan dengan rayuan ekonomi. 

Study case diatas pernah disinggung Marx dalam tesisnya tentang historical materialisme yang menyatakan bukan kesadaran yang menentukan keberadaan manusia, tetapi keadaan sosiallah (materialisme) yang menentukan kesadaran mereka.

Di Indonesia ikhwal sepeti itu menjadi tampak lumrah, namun memiliki implikasi kerusakan yang cukup mendalam bagi siklus politik negeri ini, ibarat politik bagai bisnis yang menjanjikan.

Polemik bagi-bagi kekuasaan sepertinya cocok untuk menggambarkan itu semua, seperti partai politik oposisi dan aktor politik oposisi yang tak kuat menahan oposisinya jika mendapat tawaran jabatan di kursi pemeritahan, belum tentu mereka memilki kapabilitas dalam menduduki kedudukan menteri. 

Akhir-akhir ini pasca Pemilu 2024 banyak terjadi perbincangan sosial mengenai adanya partai politik dan aktor politik berbondong-bondong untuk merapat pada lawan politiknya yang menang kontestasi. Hal ini dilakukan oleh partai Perindo, PPP dan Nasdem beserta aktor politiknya (Tribunnews,16/08/2024).   

Sehingga, jumlah kuota kementerian mengalami fluktuasi. Akibat itu publik banyak yang mengkhawatirkan munculnya “kabinet gemuk” hingga akan memboroskan anggaran.

Menurut Feri Amsari, tidak ada kebutuhan yang mendesak bagi Prabowo untuk mengoperasikan jumlah kementerian lebih dari jumlah yang dioperasikan pada pemerintahan sebelumnya, dan banyaknya jumlah kementerian berisiko membebani anggaran negara. 

Langkah-langkah politik seperti itu mungkin bisa dikatakan sebagai rekonsiliasi, tetapi cenderung menjadi blunder ketika obral kekuasaan dilakukan secara masif. Dengan jumlah 7 menteri koordinator, 41 menteri, 55 wamen, dan 5 pejabat setingkat menteri.

Lembaga kajian ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) menaksir bahwa kabinet Prabowo Subianto bisa menghabiskan anggaran hingga Rp. 777 miliar per tahunnya, 

Hal ini harusnya menjadi bahan evaluasi bagi aktor-aktor politik agar lebih kritis dan cermat ketika mengambil keputusan politik dengan tujuan untuk mensejahterakan kepentingan rakyat. Kalaupun tidak seperti itu, praktik-praktik monopoli politik di negeri ini akan semakin masif, na’as rakyat lagi yang terkena imbasnya. 


Editor: Restu Agung Santoso





Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA