Kesibukan-Kesibukan di Indonesia
![]() |
Gambar oleh Filadendron, diunduh melalui istockphoto.com |
Kita menyambut awal tahun 2025 dengan kembang api mengerikan alih-alih penuh harap dan kebahagiaan. Kembang api yang membakar kertas-kertas di kantong-kantong masyarakat Indonesia. Penetapan PPN 12% mengacaukan wishlist-wishlist masyarakat untuk mengendapkan uangnya alih-alih menghemat.
Sejak awal tahun 2025 pemerintah dan masyarakat Indonesia dialihkan perhatiannya oleh banyak agenda baik internal maupun eksternal. Sejak pekan kedua terakhir Februari, langit Indonesia diwarnai oleh asap hitam tebal disebabkan oleh massa besar-besaran yang menuntut kantor-kantor pemerintahan. Hal itulah mungkin salah satu faktor munculnya statement Indonesia Gelap, meski di siang bolong.
Pada akhir Februari hingga awal Maret, para ekonom dan investor terpaksa dialihkan perhatiannya kepada angka-angka saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh 11,8% sehingga tercatat sebagai penurunan paling buruk sejak Maret 2020. Sementara itu, pada waktu yang sama, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda ribuan pekerja, dan diprediksi masih banyak lagi hingga akhir tahun 2025 (sindonews.com).
Tak selesai, di tengah-tengah puasa ternyata lebih sibuk dibanding hari biasa. Masyarakat Indonesia melakukan aksi demonstrasi di sejumlah kota-kota besar. Jakarta, Semarang, Malang, Surabaya, dan semua yang tak dapat disebut namanya. Berangkat karena satu alasan yaitu kita tidak mau kembali pada masa lalu yang kelam dahulu.
Kita telah mengawali awal tahun ini dengan banyak peristiwa-peristiwa mengenaskan nan melelahkan. Dan itu ternyata akan berlanjut hingga tak tahu entah kapan. Namun, kita hanya dapat berharap itu berlalu secepat mungkin dan diganti dengan adegan-adegan mimpi yang indah.
Masyarakat Kita
Di tengah-tengah keadaan demikian, tak dapat disangsikan munculnya pertanyaan “Bisakah kita keluar dari kebuntuan ini?” Respon yang paling parah mungkin menghabiskan hidup sendiri dan oleh sendiri. Namun, sebagian kita mungkin hanya mampu mengatakan “Damn!” yang entah berapa kali telah keluar dari lisan.
Sementara itu, jika kita meihat pada sebagian kelompok baik yang dekat ataupun yang jauh melalui sosial media, seakan-seakan tidak terjadi apa-apa. Sesuatu yang katanya gelap ternyata hanya ketika pada malam hari saja. Siang hari ketika bangun tidur “Saya bangun tidur terang kok.” Dari hal ini muncullah kembali pertanyaan “Apakah memang betul gelap?” Sebagian kita mungkin akan menjawab “Ini gelap woy, kau saja yang bangun tidur kesiangan belum shalat subuh.”
Namun, jika memang betul-betul dilihat secara dekat pada sebagian kelompok, Indonesia sepertinya memang baik-baik saja. Sebagai contoh, maraknya live “joget sawer” di TikTok oleh sebagian kelompok hingga menghabiskan waktu berjam-jam. Hal itu seakan-akan menunjukkan bahwa Indonesia aman-aman saja. Tiada hal yang mendesak kita untuk berlari menghindar atau merebut sesuatu.
Di sisi lain, jika kita lihat melalui kacamata yang lebih bagus, ternyata peristiwa demikian merupakan tanda “ketidakamanan” secara jelas. Live joget sawer tersebut dinilai lebih menguntungkan daripada harus bekerja keras di sawah ataupun di pabrik. Berangkat dari pikiran ini, sejumlah orang akan meninggalkan sawah-sawah mereka atau tidak lagi berangkat ke pabrik. Ketika telah demikian, sektor pertanian dan industri lama-kelamaan akan sepi dan tidak lagi berproduksi. Sehingga akhirnya kebutuhan pokok rumah tangga mandek. Ini mungkin adalah skenario bias yang terlalu cepat menyimpulkan.
Kita juga bisa melihatnya pada sisi yang lain. Peristiwa masifnya joget sawer demikian mungkin merupakan akibat dari buntunya penghidupan baik dari sawah ataupun pabrik. Sehingga beberapa orang memilih melakukan demikian. Dan ini akan berakhir sama dengan yang pertama.
Dari semua di atas, barangkali yang dikatakan seorang antropolog Indonesia beberapa dekade yang lalu bisa mengingatkan kita. Menurut Koentjaraningrat (2004: 46-49) salah satu mentalitas masyarakat Indonesia yang menghambat pertumbuhan ialah mentalitas mencari jalan paling gampang.
Sementara para pemuda kita, tidak kalah sama dengan keadaan di atas. Sebagai contoh, kecanduan bermain game online. Dalam hal ini, pada dasarnya tiada yang dapat melarang kegiatan demikian. Akan tetapi, ketika telah kecanduan hingga berjam-jam pada malam hari dan tiada sempat untuk beristirahat, tentu dampaknya akan merembes pada aktivitas-aktivitas lain.
Hal di atas tentu merupakan contoh nyata dari yang dikatakan Koentjaraningrat sebelumnya. Karena ketika telah kecanduan, berarti orang tersebut hanya meningkatkan dopamin (yang memproduksi hormon positif seperti senang) melalui kegiatan-kegiatan yang gampang. Sehingga mereka akan enggan melakukakan sesuatu yang prosesnya lama dan melelahkan. Bahkan untuk bersenang pun kita tidak mau berusaha lebih.
Kasus yang lain yaitu meningkatnya kecanduan konten pornografi. Data yang ditemukan ialah sekitar 5,5 juta sekian konten pornografi di Indonesia pada 2024. Angka tersebut pun menjadikan Indonesia peringkat keempat secara internasional dan kedua di ASEAN. Namun, fakta yang lebih mirisnya lagi ialah konten-konten tersebut bahkan telah menjangkit anak-anak di bawah umur (Tempo.co).
Pemandangan yang juga terdapat pada pemuda kita dewasa ini ialah “perlombaan” tren konten dari satu tren ke tren berikutnya. Dari “Walid nak Dewi, boleh,” hingga stecu- stecu. Pada dasarnya tiada yang berhak melerai perlombaan itu. Akan tetapi, itu merupakan cerminan kemana kita bergerak dan apa yang “menarik” di tengah-tengah kita. Sederhananya itu adalah gambaran masyarakat kita.
Sementara itu, ketika bangun tidur dan menyaksikan di masing-masing layar ponsel bagaimana seorang konten kreator Amerika mempertontonkan kecanggihan dan kemajuan China, spontan kita mengatakan “Hebat ya China.”
Inilah mirisnya keadaan kita. China telah lama membangun pondasi mereka secara bertahap. Semua itu telah melewati beberapa periode dan pergantian presiden. Itu semua tidak dilakukan dalam semalam sebagaimana cerita-cerita candi di Indonesia. Sementara kita, masih memiliki banyak PR yang harus diselesaikan, dan PR yang paling utama kiranya ialah kesadaran dan kepekaan.
Tentu kita perlu sadar dahulu bahwa kita memang gelap dan tidak pernah terang, setidaknya sejak beberapa tahun terakhir. Seperti halnya Muslim yang diperintahkan bersyukur, ia tidak akan pernah mendapatinya sebelum ia mengakui bahwa yang ada padanya adalah pemberian. Sama juga halnya dengan orang yang bertaubat, ia tidak akan memulainya sebelum ia menyadari bahwa telah melakukan kemungkaran.
Pemerintah Kita
Sementara itu, orang-orang yang menjadi harapan kita tak ada bedanya dengan semua. Pasca menonton wawancara Presiden Prabowo Subianto dengan tujuh jurnalis, penulis dapat menyimpulkan alasan Indonesia mungkin tidak akan pernah tumbuh. Alasan itu ada pada perkataan yang diulang-ulang oleh Pak Prabowo ketika menjawab “Indonesia negara besar. Indonesia negara kuat. Utang Indonesia masih lebih rendah daripada negara ini dan itu.”
Hal itulah yang menurut penulis merupakan mentalitas yang menghambat pertumbuhan Indonesia. Kita masih menganggap diri kita besar, kuat, hebat. Kita membandingkan diri kita dengan negara-negara yang tingkatnya berada di bawah kita.
Alasan semua itu merupakan hambatan bagi pertumbuhan suatu negara karena semua itu menunjukkan bahwa cita-cita kita berorientasi ke bawah, bukan ke atas. Kita tidak melihat kepada buruknya tindakan kita. Sebaliknya, mencari-cari alasan sembari mengatakan ada yang lebih buruk dari kita. Tidak pernah bertekad untuk berhenti dari suatu “kemungkaran”
Itulah yang telah disebut di atas, bahwa PR kita hari ini ialah kesadaran. Tidak ada yang berani di antara kita mengatakan kita negara kuat dan hebat, sementara kita mengemis-ngemis dan menjilat pantat Trump. Tiada yang mau mengatakan bahwa kita negara makmur, sementara di samping kita mati kelaparan. Tiada yang berani mengatakan kita besar, sementara China telah menduduki tahta kemajuan.
Di sisi lain, di antara orang yang diharapkan oleh kita justru mengajarkan tindakan yang tidak semestinya. Salah satu elit pemerintah kita diduga terlibat dalam bisnis judi online di kasino Kamboja. Hal ini tentu sangat miris, karena mental culas dan tidak menghargai proses ternyata dari tingkat bawah akar rumput hingga pada elit pemerintah.
Inilah semua kesibukan kita di Indonesia, sembari hanya dapat menyaksikan pertengkaran dagang global. Mendengar mimpi dahsyat Elon Musk untuk pergi ke planet lain, dan menonton kemegahan China di sosial media tanpa pernah tahu kapan merasakannya.
Editor: Restu Agung Santoso