Surat Balasan untuk PT. Sinar Batubara
![]() |
Gambar oleh af_istocker, diunduh melalui istockphoto.com |
“Kegelisahan tersebut pula yang mengantarkan penulis untuk menulis ini. Bagaimana di hari ulang tahun literasinya, tidak ada hal-hal literasi yang dilakukan. Mungkin seperti membaca buku bersama atau menulis bersama, yang paling parah bahkan tidak ada tulisan untuk hari ulang tahun tersebut.”
Kutipan di atas merupakan sepenggal paragraf dari tulisan seorang kader, yang selanjutnya kita sebut dia Batubara. Selengkapnya baca di immuinsasby.com.
Batubara di dalam tulisannya mempertanyakan eksistensi kader IMM UINSA saat memperingati milad literasinya, sekaligus merayakan dua tahun rilisnya LIBERASI. Ia sangat menyayangkan keadaan para kader, di mana pada momentum milad literasi tersebut tidak ada kegiatan literasi yang digiatkan. Hal ini membuatnya berpikir “Mungkinkah para kader telah lupa cara menulis?”
Dalam tulisan ini, penulis hendak menanggapi pernyataan-pernyataan Batubara dalam tulisannya itu. Menurut hemat penulis, apakah seluruh kader IMM, khususnya di UINSA harus menulis? Tentu, jawabannya telah disadari oleh yang bersangkutan. Menulis adalah cara berkomunikasi yang bertujuan menyampaikan sesuatu. Namun, harus diingat bahwa itu bukan satu-satunya cara, karena yang namanya "cara" pasti memiliki banyak ragam.
Tanggapan penulis di atas hanyalah konsekuensi dari pernyataan yang termuat dalam tulisan yang bersangkutan:
“Ya karena kamu IMM. IMM itu gerakan ilmu, dan suatu ilmu hanya bisa dipelajari kalau di situ ada literasi, salah satu poin literasi adalah menulis. Maka tidak ada alasan jika kamu seorang IMM dan kamu tidak menulis.”
Kutipan di atas adalah jawaban Habib Muzaki, selaku pegiat literasi IMM UINSA ketika ditanya oleh yang bersangkutan, “Kenapa saya harus menulis?”
Kemudian, jika dikatakan bahwa menulis merupakan jihad intelektual kita, baik sebagai bagian dari amar makruf nahi munkar maupun fondasi peradaban, itu masih tepat separuhnya. Karena makna intelektual tidak hanya mengandung kegiatan teoritis, tetapi juga perintis dalam aksi (Gramsci, 1971, dikutip dalam Latif, 2005).
Selanjutnya, Batubara mengatakan bahwa menulis adalah sarana amar makruf nahi munkar, maka sekali lagi, jawabannya itu bukan satu-satunya cara. Era modern dewasa ini, sangat memudahkan kita untuk beramar makruf nahi munkar tanpa hanya bercumbu dengan menulis saja. Membuat konten, misalnya.
Fenomena Puncak Gunung Es
Menyoroti fenomena yang “dikecewakan” oleh Batubara, menurut hemat penulis itu merupakan puncak gunung es. Kerusakan-kerusakan yang telah tertimbun di perut tanah akhirnya menampakkan tandanya di permukaan. Virus-virus yang telah lama membiak di dalam tubuh, akhirnya menampakkan diri melalui gejala-gejala kesakitan.
Sehingga dengan demikian, sesuatu yang perlu dipertanyakan ialah ada apa dengan tubuh-tubuh kader IMM UINSA. Itulah yang perlu diperiksa. Apakah mereka lupa, enggan, atau tidak mampu untuk menulis? Jikalau memang mereka lupa, cukup diingatkan sebagai solusinya. Jika bukan, dan ternyata jawabnya adalah enggan, maka solusinya adalah “menceramahinya” dengan pendekatan tertentu. Ini pun jika kita kekeh dengan satu cara itu.
Namun, jika bukan dua-duanya, maka pasti adalah yang ketiga, tidak mampu. Kalau memang demikian, solusi seperti apa yang tepat? Tentu berbeda dengan yang lupa dan enggan. Alasan ketidakmampuannya harus dicari.
Sesuatu yang paling dekat dan dapat menjawab kiranya adalah input bacaan. Inilah yang menurut penulis menjadi persoalan utama dalam tulisan Batubara tersebut. Karena sebagaimana yang telah disampaikan di atas, kekosongan tulisan hanyalah satu tanda yang menjelaskan input bacaan para kader.
Ketidakmampuan menulis mungkin memiliki beberapa faktor selain input bacaan. Tapi input bacaan adalah sesuatu yang paling mendasar dalam menulis. Karena aktivitas menulis merupakan proses menuangkan dan mengembangkan ide atau gagasan dalam struktur yang sistematis (Mulyati, 2014). Dengan demikian, jelas bahwa sebelum seseorang berniat menulis, ia harus memiliki gagasan di dalam pikirannya. Salah satu kegiatan yang paling efektif dalam hal ini ialah membaca (Mulyati, 2014). Tentu ada cara lain seperti merenung katakanlah. Tapi hal itu tetap diawali dengan ide yang telah diserapnya melalui inderanya.
Masih mengutip Mulyati, (2014), bahwa aktivitas menulis setidaknya memiliki tiga tahapan, yaitu perencanaan, penulisan, dan revisi atau editing. Pada tahap perencanaan itulah seorang penulis sebelum memulai pekerjaannya, membutuhkan segenap informasi, yang tidak lain harus melalui aktivitas membaca.
Dengan demikian, menurut hemat penulis bahwa yang perlu dipertanyakan saat ini ialah bagaimanakah aktivitas membaca para kader. Bukan berfokus pada kegiatan menulis itu sendiri. Karena menulis ialah tahap lanjutan. Dan jangan-jangan, kekosongan aktivitas menulis di IMM UINSA disebabkan karena para kadernya tidak memiliki ide dan gagasan, bahkan barang secuil pun.
Jika Tidak Semua, Lalu Siapa?
Penulis menyatakan di atas bahwa menulis tidak harus dilakukan oleh semua kader IMM UINSA. Sebab, jika semua para kader harus menulis, hal itu justru akan “menyempitkan” pilihan-pilihan yang lain. Jika demikian, mungkin pertanyaan yang mendasar ialah, apa tujuan aktivitas menulis di dalam Ikatan, khususnya Ikatan UINSA?
Jika mengutip Batubara dalam tulisannya, setidaknya terdapat tiga tujuan menulis di dalam Ikatan ini. Pertama, menulis adalah manifestasi dari gagasan IMM sebagai gerakan ilmu. Sebelumnya, jika boleh menebak, gagasan ini memiliki landasan di dalam enam penegasan IMM, yaitu ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah. Dari situ, menurut Batubara, bahwa menulis merupakan identitas kader IMM.
Kedua, menulis merupakan jihad intelektual. Menurutnya, menulis adalah sarana sekaligus cara untuk memperjuangkan “kebenaran,” atau istilah lainnya dakwah. Tentu, hal ini masih tepat separuh, sebagaimana penulis jelaskan di atas. Ketiga, menulis merupakan “investasi jangka panjang.” Tulisan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi untuk membangun peradaban yang maju.
Lalu, siapakah yang harus menjalankan ketiga tugas di atas, jika tidak semua kader? Itulah yang mungkin masih menjadi pertanyaan yang belum terselesaikan di tengah-tengah Ikatan. Tentu penulis meyakini bahwa harus ada yang mengisi bagian ini. Karena jika tidak, musnahlah kebaikan yang telah kita dan pendahulu kita usahakan dan perjuangkan seperti, website, LIBERASI, dan hal lainnya yang telah ditegaskan oleh Batubara. Dan itu tentunya merupakan kelalaian (jika tidak mau disebutkan kezaliman).
Editor: Rihmah Muhsinah