Jangan-jangan, Kita Belum Paham Ideologi
![]() |
Gambar oleh erhui979, diunduh melalui istockphoto.com |
Berbicara soal kondisi dewasa ini tentu akan banyak topik yang
dapat didiskusikan panjang lebar. Iya, akhir-akhir ini begitu banyak isu, kasus
dan problematika yang "mungkin" dapat menjadi sarana menjalin
dialektika antarmahasiswa.
Namun, dalam hal ini yang tiba-tiba mengganggu pikiran penulis
sekaligus menjadi sebuah tanda tanya adalah terkait usaha IMM tentunya. Di
balik segala dilema yang ada, kiranya apa yang paling realistis untuk dilakukan
per hari ini?
Maka dari itu, kader IMM sekalian lagi-lagi perlu melakukan
refleksi. Iya, refleksi di sini menjadi sebuah urgensi di tengah kegandrungan
perubahan dan kebingungan gerakan. Dua hal yang kontradiktif tersebut pun
mengantarkan penulis pada sebuah asumsi bahwa jangan-jangan pemahaman kader IMM
terhadap ideologi masih belum sepenuhnya ditransformasi.
Kesadaran atas Kompetensi Kader IMM
Pemahaman ideologi merupakan sebuah das sollen dalam
perkaderan. Sayangnya, realita per hari ini justru terkesan sebaliknya. Dengan
kata lain, seandainya setiap dari kader-kader IMM telah berada pada pemahaman
ideologi yang seharusnya, tentu mereka akan mampu menginisiasi perubahan atau
paling tidak mendiskusikan kebingungan bersama-sama.
Mengapa demikian? Karena ideologi sendiri merupakan sistem paham (Nashir, 2014: 30-33). Lucu rasanya apabila dalam
perkaderan dasar misalnya, yang notabenenya bertujuan untuk internalisasi
"sistem paham" justru gagal diberikan. Jika demikian, maka wajar saja
apabila ke depannya kader merasa tidak punya pandangan, tujuan hingga gairah
beraktualisasi dalam organisasi.
Di samping itu, pemahaman atas ideologi sendiri terbukti memiliki
pengaruh terhadap keaktifan kader dalam berorganisasi (Rafif, 2024). Sebagai mahasiswa, aspek
memahami menjadi tujuan pendidikan yang ditekankan pada perguruan tinggi.
Sementara aspek pemahaman di sini setidaknya dapat dilihat melalui
proses-proses kognitif seorang kader mulai dari kemampuannya dalam menafsirkan,
mencontohkan, mengklasifikasikan, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan
menjelaskan ideologi itu sendiri (Juhrodin, 2023: 79).
Namun, terkadang atau mungkin sudah sering terjadi dalam upaya mentransformasikan
pemahaman ideologi pada setiap agenda perkaderan masih menemui jalan buntu.
Dalam pengamatan penulis, hal ini boleh jadi karena sedari awal pihak
penyelenggara perkaderan sendiri juga kurang memahami ideologi.
Contoh sederhananya, pihak penyelenggara kadang masih kebingungan
atau mungkin merasa tidak ada yang janggal dalam silabus materi yang akan
mereka berikan. Hal ini pun sering penulis jumpai ketika membersamai beberapa
agenda perkaderan di mana pihak penyelenggara masih sulit membedakan poin
tujuan, target dan indikator yang ingin dicapai pada sebuah materi.
Lebih parahnya, kadang pembuatan silabus materi hanya sekadar
menyalin dari pembahasan di periode sebelumnya tanpa dilakukan pengkajian ulang
dari pihak penyelenggara. Bahkan, pencantuman referensi bacaan pun tidak selalu
benar-benar dibaca dan menjadi dasar pikiran dalam menyusun silabus materi.
Hal ini rasanya bertolak belakang dengan organisasi IMM yang
katanya mengusung gerakan ilmu, tetapi iklim literasi masih sulit meskipun
hanya membaca beberapa lembar halaman buku. Kalau kata Gen Z, “Kenapa sih hal
sekecil itu harus bohong?”
Maka dari itu, tri kompetensi dasar (intelektualitas, religiusitas,
humanitas) kader IMM di sini perlu direfleksikan. Akan begitu naif rasanya
ketika kader IMM menginginkan adanya perubahan (baik secara pribadi atau
organisasi), tetapi tidak ada ikhtiar agar kompetensi masing-masing dari mereka
dapat lebih dikembangkan.
Kenaifan dalam hal ini dapat pula dilihat dari beberapa kebiasaan
ketika hendak mengagendakan acara perkaderan. Misalnya, rapat asal rapat alias kosongan,
gagap menyampaikan gagasan, menjadi mazhab "Sesuai arahan senior",
dan frustasi karena proposal dana AUM belum cair sama sekali. Kebiasaan di atas
menurut Paulo Freire adalah tanda bahwa jangan-jangan pihak penyelenggara masih
berada di taraf kesadaran naif (Abidin, 2022: 82).
Oleh sebab itulah, lagi-lagi refleksi atas trikoda sebagai basis
awal dalam pemberian pemahaman ideologi perlu dilakukan oleh setiap pribadi
kader IMM. Paling tidak, kader IMM harus selesai dahulu dengan kompetensinya
masing-masing, sehingga pemahaman ideologi dapat didialektikakan sesuai
kemampuan yang dikuasai.
Mungkin, ketika setiap kader telah memahami ideologi sesuai dengan
tingkat kesadaran akan kompetensinya masing-masing, perubahan bisa sedikit
menemui jalan terang. Lantas bagaimana cara-cara tersebut dapat dilakukan?
Kiranya, bahasan ini bisa ditanggapi lewat tulisan balasan atau diskusi
kecil-kecilan di kontrakan yang tengah berada di masa tenggang pembayaran.
Waktu yang Tak Pernah Cukup
Menjadi pihak penyelenggara perkaderan, pemangku jabatan pimpinan,
atau posisi Ketua Umum sering kali jadi momok yang menakutkan bagi sebagian
besar kader Ikatan. Hal ini tentu telah jadi rahasia umum dengan lelucon yang
seolah mengafirmasi betapa menakutkannya kondisi tersebut, seperti "Sejak
saat itu, senyum ku menjadi palsu".
Padahal, seharusnya hal ini lagi-lagi kontradiksi dengan tujuan
perkaderan itu sendiri, yakni membentuk kader. Dalam Sistem Perkaderan
Ikatan (SPI), kader merupakan sebuah kebutuhan bagi keberlangsungan
organisasi guna dapat melaksanakan fungsi gerakan, partisipasi di masyarakat,
bangsa dan negara secara optimal dan tentu berkesinambungan.
Stigma negatif yang sudah ada di benak setiap kader tentang
beberapa posisi di atas bagi penulis sendiri tentu tidak salah sepenuhnya.
Penulis pun pernah merasa demikian ketika menjabat sebagai Ketua Umum di komisariat.
Saat pertama kali menjabati posisi tersebut penulis tentu memikirkan banyak hal
yang menakutkan di masa depan.
Apalagi ketika di posisi yang sama, seringkali waktu akan terasa
begitu lama. Hal demikian kerap dirasakan oleh seseorang ketika berada di suatu
kondisi yang membosankan. Orang yang sudah merasa bosan akan cenderung berpikir
tentang berlalunya waktu, sehingga waktu secara subjektif terasa melambat
menjadi terlalu lama (Witowska dkk., 2020: 2).
Dalam penelitian Witowska dkk. (2020), dikonfirmasi bahwa waktu akan
berjalan lebih cepat ketika seseorang merasa senang. Apabila ditarik ke dalam
problem yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka ada asumsi bahwa kader
yang merasa bosan ber-IMM atau para pimpinan yang ingin cepat-cepat demisioner
boleh jadi memang tidak merasakan kesenangan di dalam organisasi.
Dari asumsi inilah yang membuat penulis memilih jalan humor baik
berupa jokes receh di tengah rapat, konten absurd hingga melestarikan
budaya roasting ala komisariat asal. Sebab, humor sendiri dirasa mampu
untuk meredakan ketegangan dalam Ikatan dengan menampilkan sisi kelucuan dari
sesuatu yang sebenarnya menakutkan agar lebih mudah untuk dihadapi (Dharmawan dkk., 2023: 81).
Kiranya, masih banyak lagi jalan lain yang bisa dipilih tentu
sesuai kompetensi dan apa yang diminati. Ketakutan, kebosanan, dan lamanya masa
turun jabatan tidak pernah membuat waktu berputar lebih cepat. Sehingga, di
sinilah peran individu sebagai selayaknya manusia perlu beraktualisasi agar
dapat menjadi berada.
Kebingungan gerakan per hari ini mungkin disebabkan karena
kegagalan kader IMM dalam memaknai waktu itu sendiri. Padahal, sebagai umat
Islam telah ada satu surah yang mengajarkan untuk dapat memaksimalkan waktu
yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Surah tersebut adalah al-'Ashr ayat 1-3
yang berbunyi:
وَالْعَصْرِۙ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ اِلَّا الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
"Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati
untuk kebenaran dan kesabaran."
Sebagaimana dalam Tafsir al-Mishbah (Shihab, 2005: 495-506) dijelaskan bahwa
surah ini mengajarkan kepada hamba-Nya agar dapat memanfaatkan waktu sebagai
modal utama manusia dengan aktivitas yang positif baik bagi dirinya maupun
orang lain di sekitarnya. Lebih lanjut, ayat ini juga menekankan pentingnya
menerima nasihat dan senantiasa meningkatkan iman, amal dan ilmu pengetahuan.
Tampak tidak asing, bukan. Iya, tafsir di atas senada dengan idiom
populer di kalangan kader IMM yang termuat dalam ideologi, yaitu "Ilmu
Amaliah, Amal Ilmiah". Dengan kata lain, melalui waktu yang dipunya
setidaknya dalam satu periode kepemimpinan kira-kira gerakan apa yang mampu
dilakukan secara kolektif dengan penuh rasa senang. Inilah wujud ketika
ideologi telah berhasil ditransformasikan di mana setiap dari kader IMM
memiliki satu pemahaman yang sama dan saling mewujudkan tujuan bersama-sama.
Jika perasaan demikian muncul dalam gerakan, penulis rasa
kebingungan juga tidak akan terlalu membingungkan. Bahkan, mungkin ketika
gerakan dan seluruh agenda perkaderan dilakukan dengan rasa senang boleh jadi
waktu akan terasa tak pernah cukup. Dan, titik akhir dari setiap perjuangan
yang begitu melelahkan dengan keikhlasan, bagi penulis selalu terangkum pada kalimat,
"Gak keroso wes mari, yo".