Eksistensi IMMawati di Organisasi: dari Karam Menuju Benderang
Diksuswati 1 PC IMM Kota Surabaya (Dokumentasi istimewa) |
Eksistensi IMMawati di ikatan kita kerap kali dipertanyakan. Di mana mereka berperan? Apakah mereka hanya pelengkap di ikatan? Lebih jauh, haruskah Bidang IMMawati dibubarkan? Kiranya itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebagai representasi akan beberapa kondisi IMMawati di IMM UINSA.
Merespon keadaan itu, muncul lah sebuah tulisan seorang IMMawan dari Komisariat Avempace yang berjudul Perempuan Pelengkap Organisasi? Tulisan tersebut berisi ungkapan keresahan atas problema tentang IMMawati di ranah ikatan. Di dalamnya Ia mengangkat kondisi IMMawati di komisariatnya yang dianggap masih pasif atau bahkan apatis dalam forum-forum perkaderan.
Menurut penulis, kondisi seperti itu tak hanya didapati di komisariat itu saja, melainkan juga pada komisariat-komisariat lainnya atau bahkan di IMM seluruhnya (?), mengingat beberapa kader pernah mengungkapkan kondisi serupa.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mencoba untuk mewawancarai Ketua Bidang IMMawati Koorkom IMM UINSA periode 2023-2024, Syafina Irlin Dzulfani, untuk menjawab alasan-alasan di baliknya berdasarkan sudut pandang dan pengalamannya selama menjabat.
IMMawati Syafina memaparkan bahwa problemanya bermula dari ketiadaan Bidang IMMawati di beberapa komisariat yang mempersulit koordinasi agenda khusus bagi para IMMawati. Ditambah minimnya tradisi ajak-mengajak di kalangan IMMawati untuk terlibat dalam kegiatan yang ada.
Alhasil, para IMMawati bersikap acuh tak acuh terhadap ruang-ruang berekspresi yang telah disediakan. Ia juga menyebutkan bahwa untuk berdiskusi mengenai problema yang berkaitan dengan diri mereka sendiri sebagai perempuan, juga minim minat pembahasan. Padahal dengan diadakannya aktivitas-aktivitas itulah diharapkan dapat membangun kesadaran kolektif akan pentingnya keterlibatan IMMawati di organisasi.
Dari rangkaian faktor-faktor di atas, timbul lah implikasi yang krusial berupa tidak adanya rasa peduli dan rasa memiliki di kalangan IMMawati terhadap ikatan ini. Sehingga lahirlah efek seperti minimnya kontribusi dan kurangnya pemahaman akan perannya di lingkungan organisasi.
Konter Narasi Melalui Aksi
Maka, untuk tidak mengaminkan judul tulisan IMMawan di atas, IMMawati harus memiliki kemauan untuk mulai speak up, show up, menggagas inovasi, menawarkan solusi, mandiri, berdikari, dan menginspirasi sesuai dengan kelebihan dan kemampuan diri.
IMMawati bisa berperan di ranah maupun bidang yang mereka minati dan mumpuni. Mereka bisa mulai bergerak untuk memaksimalkan ikatan ini sebagai wadah self-improvement baik bagi dirinya hingga orang lain.
Jika wadah yang tersedia di ikatan ini dipikir belum mampu menjadi tempat berekspresi yang sesuai dengan keinginannya, maka alangkah baiknya untuk merenungkan ucapan salah seorang senior yang mengatakan,
“Jangan berpikir apa yang aku bisa dapatkan dari IMM, tapi berpikirlah apa yang aku bisa berikan kepada IMM”. Sudah saatnya mereka bisa mengaktualisasikan statement tersebut.
Hal ini sama seperti mengubah konsep take and give menjadi give and receive. Artinya tidak menunggu mendapatkan sesuatu baru memberi, melainkan dengan memberi barulah kita akan mendapatkan sesuatu.
Salah satu caranya dengan menggagas dan menyampaikan ide yang sesuai dengan apa yang IMMawati inginkan dan butuhkan dari ikatan ini. Lalu, berkolaborasi dengan sesama untuk mengaktualisasikannya. Dengan cara demikian, mereka bisa menikmati proses dan hasil dari apa yang diusulkannya.
Menjadi penggagas memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa. Poin plusnya, dengan cara seperti itu, IMMawati bisa menjadikan IMM sebagai laboratorium belajar dan eksperimen sesuai dengan bakat dan minatnya. Upaya seperti itu pula yang dapat menghadirkan inovasi dan kemajuan bagi ikatan.
Lebih-lebih apabila gagasannya sesuai dengan kebutuhan dan minat para kader lainnya. Dengan demikian, selain merealisasikan ide dirinya, juga bisa menjadi ladang bertumbuh bagi orang lain. Serta menjadi amal jariyah saat itu bisa memberi manfaat untuk banyak orang.
Misalnya, lapangan pekerjaan saat ini menuntut kemampuan skill komunikasi, menulis, marketing, desain, bahasa asing, dll, maka para IMMawati dapat menjadi penggagas pelatihan skill-skill itu di lingkup IMM UINSA dari tingkat mahasiswa sebelum beralih memasuki dunia kerja.
Di luar itu masih banyak inovasi yang bisa IMMawati gagas dan realisasikan. IMMawati diharapkan mampu melihat peluang dan kebutuhan yang relevan dengan zaman. Tidak menunggu IMMawan menggagas dulu, lalu mengikuti saja. Tetapi suarakan apa yang dimau, dipikirkan, diharapkan, dan dilakukan untuk diri sendiri dan ikatan ini sebagai representasi IMMawati yang berdaya.
Selain itu, IMMawati dapat membangun paradigma baru agar bisa memaksimalkan ikatan ini, yaitu dengan cara mengadaptasi salah satu teori dalam dunia pendidikan tentang teori classroom management yang menyatakan bahwa aktivasi partisipasi siswa-dalam konteks IMM adalah kader- bisa dimulai dari small group (diibaratkan lingkup IMM UINSA) sebelum berani tampil di large group (diibaratkan lingkup yang lebih luas).
Caranya dengan mulailah membuka diri untuk berdiskusi dengan teman sejawat, senior, dan junior sehingga IMMawati dapat memahami lebih banyak hal. Dari tahapan itulah kiranya mereka dapat mengemukakan pendapatnya di ranah yang lebih luas. Berlanjut hingga menghasilkan kiprah nyata yang berdampak pada IMM UINSA khususnya, dan ranah yang lain umumnya.
Editor: Etika Chandra Dewi