Tamu-Tamu yang Tak Diundang
Gambar oleh Andrea Piacquadio, diunduh melalui pexels |
Penulis: Iskandar Dzulkarnain (Kader
PK IMM KUF)
Pernahkah kita merasa bahwa yang selama ini kita lakukan, usahakan,
dan upayakan tampak seperti hal yang sia-sia. Bahkan terlihat hasilnya pun
tidak juga. Bayangkan petani yang merawat pohon hingga beratus-ratus tahun tapi
tak nampak pun benang sarinya yang menjadi awal tumbuhnya buah.
Saya kira kita semua pernah mengalaminya, meski tak pernah kita ceritakan.
Belajar siang dan malam tanpa henti, lalu tatkala beranjak ke kasur dan hendak
menutup mata, tiba-tiba muncul pertanyaan di benak kita “apakah semua ini
akan ada selesainya, apakah semua ini akan berarti, apakah yang aku lakukan ini
akan menolongku di masa depan”.
Pertanyaan-pertanyaan itu pun tampaknya selalu datang tiap malam
dan tak pernah ditemukan jawabannya. Lalu bangun di pagi hari menyiapkan
rencana-rencana yang akan dilakukan di hari itu dengan melupakan
pertanyaan-pertanyaan yang menyerangnya semalam. Lalu di malam hari pertanyaan itu datang lagi dan tidak juga
bisa terjawab. Hal itu terus berulang tanpa pernah kita mencoba untuk menemukan
jawabannya. Namun hebatnya kita tetap menikmatinya dan tetap melanjutkan rutinitas
kita.
Saya pernah memberanikan diri untuk menghadapinya. Namun alih-alih
menjawabnya, saya malah mengajukan pertanyaan lain atas hal itu. “kenapa
kiranya pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba muncul di kepalaku, padahal tidak
ada yang mempertanyakannya”, “dari manakah asal mereka tiba-tiba mengunjungiku tiap malam, padahal
tak pernah ku undang”. Lantas setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut
barulah saya bisa menjawab pertanyaan di awal tadi.
Jawabannya adalah SAYA TIDAK TAHU, KOK TANYA SAYA. Itulah kiranya
jawaban dari pertanyaan atas kegelisahan-kegelisahan yang selalu datang tiap
malam. Yaaa, tidak tahu! tidak tahu apakah semua hal yang telah dilakukan itu
akan membuka pintu kebahagiaan untukku di masa depan. Tidak tahu apakah yang
sedang dilakukan ini akan membantuku di masa depan atau malah menjadi bencana
bagiku.
Kampung Halaman Kegelisahan
Alih-alih mencoba mencari jawaban konkret dari pertanyaan di awal,
alangkah baiknya kita memikirkan “kenapa kita memikirkan hal tersebut”.
Karena dari pertanyaan tersebut, mungkin kita bisa menjawab pertanyaan di awal
tadi. Dari mana asal kegelisahan itu?
Setidaknya ada dua jawaban yang saling menghubungkan dari
pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, mengukur diri kita dengan orang
lain. Hal ini mungkin pernah dilakukan oleh kita semua. Bertemu teman SD yang
sekarang sudah menjadi content creator. Melihat teman kelas yang
sekarang sudah menggunakan IPhone. Bahkan bertemu dengan mantan yang sekarang
ternyata sudah bekerja di perusahaan ternama. Hal itu semua bisa jadi sebab
munculnya kegelisahan-kegelisahan kita, yang berawal dari rasa iri yang muncul
di hati kita. Dan sayangnya, zaman sekarang mendukung semua hal itu. Pernahkah
kalian mendengar istilah “hidup dengan standar TikTok”. Itulah
realitanya sekarang.
Sebaliknya, sikap yang paling bijak ialah mengukur diri kita dengan
diri kita yang kemarin. Karena orang yang paling beruntung ialah orang yang
hari ini lebih baik dari kemarin (H.R. Al-Hakim). Teringat sebuah perkataan “andaikan
manusia itu diberi satu gunung emas niscaya ia akan menengadah dan meminta satu
gunung lagi”. Manusia tampaknya memang tamak dan serakah bahkan tak
tanggung-tanggung merusak lingkungan untuk mengenyangkan keserakahannya (Q.S.
Ar-Rum:41)
Kedua, orientasi hasil
daripada proses. Seringkali kita merasakan kegelisahan karena hasil dari usaha-usaha
kita tak kunjung tiba. Mengutip dari buku Atomic Habits karya James Clear,
bahwa orientasi kepada hasil seringkali membatasi kebahagiaan. Seolah-olah
kebahagiaan hanyalah ketika hasil yang kita impikan telah tercapai. Dan
orientasi kepada hasil, tak jarang membuat kita meremehkan hal-hal kecil. Namun
jika orientasi kita kepada proses atau sistem mungkin kita akan mendapatkan hal
yang lebih. Kita bisa saja memiliki impian untuk menerbitkan sebuah buku. Dan
kita akan bangga ketika itu tercapai. Namun sejatinya yang ingin kita inginkan
adalah menulis diary setiap malam. Sehingga ketika hanya “menerbitkan
buku” yang menjadi tujuan, kita akan lupa untuk mengapresiasi diri yang telah
menulis setiap malam.
Seringkali rasanya kita meremehkan hal-hal remeh seperti, merapikan
tempat tidur, olahraga di pagi hari, merencanakan kegiatan, bermeditasi sebelum
tidur. Namun tanpa kita sadari semua itu akan membentuk identitas diri kita.
Kita tidak hanya sekedar ingin memiliki otot besar, namun kita ingin menjadi
orang yang selalu merawat kesehatan tubuh kita. Kita tidak hanya ingin memasuki
rumah kita dengan pemandangan ruang tamu yang bersih dan wangi. Tapi kita ingin
menjadi orang yang selalu menjaga kebersihan. Kita tidak hanya ingin datang ke
sekolah tepat waktu. Akan tetapi kita ingin menjadi orang yang disiplin.
Orientasi hasil seringkali membuat kita tergesa-gesa hingga melupakan
kekuatan waktu. Mengutip dari buku Psychology Of Money karya Morgan
Housel, bahwa waktu ialah kekuatan terbesar dalam hal keuangan. Warren Buffet,
seorang filantropis asal Amerika yang menempati orang terkaya nomor enam di
dunia (Amartha, 2024),
tidak berinvestasi lima tahun bahkan sepuluh tahun yang lalu. Ia sudah mulai
berinvestasi sejak ia masih muda (Morgan Housel, 2020). Bahkan Allah pun
mengajarkan kita untuk menghargai proses. Mungkin jikalau Allah mau, Dia akan
menciptakan langit dan bumi hanya dalam sewaktu tanpa mengerjakannya hingga
enam hari.
Benarlah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَكَانَ
ٱلْإِنسَٰنُ عَجُولًا
Dan
adalah manusia itu bersifat tergesa-gesa (Q.S. Al-Isra’:11)
Dalam tafsir Ibn Katsir diceritakan bahwa tatkala peristiwa
peniupan ruh Nabi Adam, beliau hendak segera berdiri padahal ruhnya belum
sampai di kedua kakinya.
Penutup
Boleh saja kita berhenti sejenak dari “perang” yang tiada
henti nan melelahkan itu. Namun ingat, hanya sejenak. Kita tak boleh tumbang
atas pikiran-pikiran yang tak nyata itu. Boleh saja kita merasa lelah dan
menggerutu. Tapi ingat, hanyalah pecundang yang pasti menyerah. Kita
benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi besok, bahkan setelah kita membaca
ini. Tapi setidaknya kita telah melakukan sesuatu yang berarti hari ini.
Siapa sangka pohon yang kita tanam ternyata adalah pohon jati. Jelas ia membutuhkan waktu yang sangat panjang bahkan berpuluh-puluh tahun untuk memiliki kualitas dan mutu terbaiknya (LindungiHutan, 2022). Fokuslah terhadap apa yang telah kita cita-citakan. Strategi mungkin saja bisa di-copy, namun rezeki tidak bisa di-paste. Boleh saja kita melirik orang lain untuk bercermin sejauh mana usaha kita. Tapi cara ini pun sulit untuk tidak membuat kita mengukur diri dengan orang lain.
Editor: Yogaraksa Ananta