Muhammadiyah dan Perbankan Syariah: Antara Ketupat dan Kredit Murabahah
Gambar oleh Artificial Intelligence, diunduh melalui Bing.com |
Penulis: Azhar Ainun Hidayat (Kader PK IMM FEBI)
Melihat Muhammadiyah dan Bank Syariah, mengingatkan penulis dengan ketupat lebaran. Dimana ketupat bukan hanya simbol kebersamaan dan kemenangan di hari raya, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang sering penulis temui sering dijual melalui metode murabahah. Itulah kira-kira gambaran hubungan antara Muhammadiyah dan perbankan syariah.
Jika ketupat adalah makanan yang dirajut dari daun janur, maka perbankan syariah adalah lembaga keuangan yang dirajut dari prinsip-prinsip Islam. Keduanya memiliki nilai lebih dari sekadar fisiknya, dan ketika digabungkan, bisa menjadi resep unik untuk kemajuan umat.
Muhammadiyah, organisasi Islam yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1912, sejak awal telah fokus pada pembaruan dan modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam di Indonesia. Dengan ciri gerakan amar ma'ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan), Muhammadiyah tidak hanya mengurusi urusan ibadah, tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Di sisi lain, perbankan syariah di Indonesia mulai mendapat tempat sejak akhir abad ke-20. Seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya sistem keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, berbagai bank syariah mulai bermunculan. Mereka menawarkan berbagai produk seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan ijarah, yang semuanya bertujuan untuk menghindari riba (bunga) dan transaksi yang tidak halal.
Mengapa Muhammadiyah Tertarik dengan Perbankan Syariah?
Ketertarikan Muhammadiyah terhadap perbankan syariah tidaklah terlalu mengejutkan. Muhammadiyah, yang dikenal sebagai gerakan progresif dan berorientasi pada kemaslahatan umat, tentu melihat potensi besar dari perbankan syariah untuk memperkuat perekonomian umat Islam. Lagi pula, siapa yang tidak tertarik dengan janji-janji manis dari sebuah sistem keuangan yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga berkah?
Namun, ada satu alasan unik yang mungkin jarang disadari: Muhammadiyah ingin memastikan bahwa setiap ketupat lebaran yang dinikmati oleh umatnya berasal dari sumber yang halal. Jangan sampai ada ketupat hasil dari uang riba yang beredar di tengah-tengah perayaan kemenangan setelah berpuasa selama sebulan. Bukankah itu akan merusak nilai kesakralan ketupat itu sendiri?
Bayangkan sebuah skenario: Ibu Siti, seorang anggota Muhammadiyah yang taat, ingin membeli sepeda motor untuk anaknya yang baru lulus sekolah. Ia datang ke bank syariah dengan niat mulia, berharap bisa mendapatkan pembiayaan tanpa riba.
Di sinilah humor dalam keseriusan ini muncul. Petugas bank dengan sabar menjelaskan bahwa ia bisa menggunakan skema murabahah, di mana bank akan membeli sepeda motor tersebut terlebih dahulu dan menjualnya kembali kepada Ibu Siti dengan margin keuntungan yang sudah disepakati.
Namun, Ibu Siti yang polos bertanya, "Jadi, apakah bank akan membawa sepeda motor itu ke rumah saya?" Petugas bank tersenyum dan menjelaskan, "Tidak, Bu. Sepeda motor akan langsung diantar ke dealer, nanti Ibu tinggal mengambilnya di sana." Ibu Siti pun mengangguk-angguk, sambil dalam hati bertanya-tanya, "Kenapa tidak sekalian saja bank yang mengantarkan ke rumah, biar lebih afdol?"
Masa Depan Cerah: Muhammadiyah, Perbankan Syariah, dan Umat Islam
Dalam skala yang lebih besar, Muhammadiyah menggunakan perbankan syariah untuk berbagai keperluan organisasinya. Misalnya, dalam pembangunan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan menggunakan jasa perbankan syariah, Muhammadiyah memastikan bahwa seluruh pendanaan dan transaksi yang dilakukan tetap dalam koridor syariah.
Bayangkan, jika setiap sekolah Muhammadiyah dibangun dengan dana yang bebas dari riba, bukankah pendidikan yang diberikan juga akan lebih berkah? Dan ketika pasien dirawat di rumah sakit Muhammadiyah yang dibangun dari dana halal, kesembuhan yang diraih juga akan lebih membawa kebaikan, bukan hanya bagi pasien, tetapi juga bagi seluruh keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Di masa depan, hubungan antara Muhammadiyah dan perbankan syariah akan semakin erat. Mungkin kita akan melihat lebih banyak program inovatif yang diluncurkan oleh Muhammadiyah dengan dukungan dari bank-bank syariah. Bisa jadi, Muhammadiyah akan membuka cabang bank syariah sendiri, yang menawarkan produk-produk keuangan yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga penuh dengan nilai-nilai Islam.
Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti kita akan melihat paket ketupat lebaran yang didanai oleh kredit murabahah, dijual di pasar-pasar dan supermarket, sebagai simbol sinergi antara tradisi, modernitas, dan prinsip-prinsip syariah. Ketupat tersebut bukan hanya lezat, tetapi juga memberikan rasa tenang karena kita tahu bahwa setiap jengkal daun janur dan setiap butir nasi di dalamnya adalah halal dan berkah.
Begitulah kisah lucu namun inspiratif tentang Muhammadiyah dan perbankan syariah. Seperti ketupat dan kredit murabahah, keduanya saling mengisi dan melengkapi, membawa harapan dan kemajuan bagi umat Islam di Indonesia.
Editor: M. Tanwirul Huda