Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pernikahan Dini: Gairah Menuju Masa Depan Suram

Gambar oleh Daria Obymaha, diunduh melalui iStock.com

Penulis: Abdillah Rosyid Tamimi (Ketua Bidang Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Koorkom IMM UINSA)


Pernikahan dini telah menjadi isu serius yang berimplikasi luas, bahkan berpengaruh pada tingginya angka perceraian dan penurunan kualitas pendidikan moral anak. Dari apa yang penulis amati, hal ini disebabkan oleh pernikahan yang terjadi pada usia yang sangat muda, dimana pernikahan yang dilakukan sering kali tidak didasari oleh kesiapan emosional dan finansial.

Ketidaksiapan tersebut pun akan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan dalam sebuah rumah tangga. Ketidakstabilan ini sering berujung pada perceraian, yang tidak hanya berdampak buruk pada pasangan itu sendiri, tetapi juga pada anak-anak yang telah mereka lahirkan. Anak-anak dari keluarga yang mengalami perceraian ini akan cenderung mengalami ketidakstabilan emosional dan psikologis yang nantinya akan memperburuk situasi pendidikan moral mereka.

Kasus nyata di Indonesia telah menunjukkan bagaimana pernikahan dini berkontribusi pada tingginya angka perceraian. Di Kabupaten Indramayu misalnya, di tahun ini telah tercatat bahwa angka pernikahan dini sangat tinggi dan diikuti oleh angka perceraian yang juga tinggi. 

Banyaknya pasangan muda yang tidak siap menghadapi tantangan dalam pernikahan, seperti tekanan ekonomi dan tanggung jawab pengasuhan anak, telah membuat mereka memilih bercerai sebagai solusi cepat. Dari keputusan perceraian tersebut, anak-anak yang dilahirkan akan menghadapi situasi dimana pengasuhan yang tidak stabil dan kurangnya perhatian dari kedua orang tua secara langsung.

Dari sini kita dapat melihat, bahwa pendidikan moral yang seharusnya dimulai dari keluarga menjadi terabaikan karena orang tua yang menikah dini sering kali masih dalam proses pencarian jati diri dan orang tua yang bercerai akan lebih memilih menghabiskan waktu mereka sendiri-sendiri. Dalam banyak kasus, tanggung jawab orang tua yang seharusnya dipegang suami-istri akan dialihkan ke yayasan atau keluarga yang berkenan mengasuh. 

Meski keputusan tersebut dinilai sebagai keputusan yang terbaik, sering kali pengaruh kedua buaian tersebut tidak mampu menggantikan peran penting orang tua. Kurangnya keterlibatan orang tua ini pun juga akan dalam berdampak pada lemahnya nilai-nilai etika dan norma sosial yang membentuk anak-anak, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku mereka di masyarakat.

Contoh kasus di beberapa daerah telah memperlihatkan dampak negatif dari kurangnya pendidikan moral pada lingkungan keluarga. Di beberapa sekolah, dilaporkan bahwa banyak anak dari keluarga dengan latar belakang pernikahan dini menunjukkan perilaku menyimpang seperti bolos sekolah, pergaulan bebas, dan bahkan penyalahgunaan narkoba. 

Institusi pendidikan seperti sekolah bahkan mengaku kesulitan memberikan pendidikan moral yang memadai karena banyak dari anak-anak tersebut tidak mendapatkan dasar yang kuat dari keluarga mereka. Hal tersebut turut memicu rangkaian masalah yang kompleks dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak untuk mengatasinya. 

Mengaitkan permasalahan pernikahan dini dengan hadits dan dalil dalam Islam memberikan perspektif religius yang penting untuk memahami dampaknya serta upaya pencegahannya. Dalam Islam, pernikahan bukan hanya kontrak sosial, tetapi juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Hadits-hadits dan dalil-dalil Al-Quran menekankan pentingnya kesiapan dan tanggung jawab dalam pernikahan serta pengasuhan anak.

Salah satu hadits yang relevan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, di mana Rasulullah SAW bersabda,

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه مرفوعاً: «يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم؛ فإنه له وِجَاءٌ».

Artinya: "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka menikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena itu akan menjadi pengekang hawa nafsu baginya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menekankan bahwa kesiapan untuk menikah tidak hanya bersifat fisik tetapi juga finansial dan emosional. Menikah tanpa kesiapan dapat berujung pada masalah-masalah seperti perceraian dan ketidakmampuan mendidik anak dengan baik. 

Dalam konteks pendidikan anak, Islam sangat menekankan peran orang tua dalam memberikan pendidikan yang baik. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah At-Tahrim Ayat 6 yang berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ayat ini menegaskan bahwa orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan mendidik anak-anak mereka, termasuk dalam aspek moral dan spiritual. Hadits lainnya yang relevan juga dapat kita renungi di mana Rasulullah SAW bersabda:

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.

Artinya: “Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya. Dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya." (HR Bukhari).

Orang tua merupakan kendali utama dalam keluarga dan mereka ialah komponen penting yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan pendidikan anak-anak mereka. Pernikahan dini yang tidak didasari oleh kesiapan dapat mengakibatkan orang tua tidak mampu menjalankan peran ini dengan baik, yang pada akhirnya akan menjadi ancaman berupa masa depan generasi yang suram.  


Editor: Muhammad Tanwirul Huda

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA