Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan Pelengkap Organisasi?

Gambar oleh: Abscent84, diunduh melalui: Istockphoto.com

Penulis: Wahyu Agung Nuril Fahmi (Ketua Bidang Hikmah Politik dan Kebijakan Publik PK IMM Avempace)

 

Peran perempuan pada ranah organisasi saat ini mungkin masih dipertanyakan, apakah memang mereka hadir hanya sebagai pelengkap, atau bisa disebut hanya angka ikut, atau memang dengan hadirnya mereka mampu memberi warna dan corak pemikiran lain. Dengan demikian sumbangsih pemikiran mereka nantinya melahirkan sesuatu yang adil dan merata bagi semua gender dan tidak ada ketimpangan dalam pengambilan keputusan.

Hal tersebut dikhawatirkan jika kondisi para perempuan dalam organisasi saat ini masih diteruskan dan akan menjadi budaya, maka tidak bisa dipungkiri, perempuan akan terus terdiskriminasi apabila mereka tidak mampu memanfaatkan ruang- ruang yang sudah diberi itu dengan baik.

Sebetulnya organisasi ini merupakan wadah atau ruang yang sangat baik untuk dimanfaatkan oleh para kaum perempuan, pada IMM sendiri contohnya, sering diadakan forum oleh bidang IMMawati yang mana mungkin tujuan dari adanya forum tersebut tidak lain adalah melatih, serta menyerap aspirasi apa yang selama ini ada di grassroot.

Salah satu bentuk kegiatan yang digagas bidang IMMawati Koorkom UINSA adalah diadakannya forum Madrasah Mubadalah. Forum tersebut menurut saya pribadi adalah forum yang tentunya ada kelebihan dan kekurangan tersendiri. Dalam hal ini forum yang bertujuan untuk menguatkan dan menghidupkan kembali budaya diskusi aktif nan kritis yang selama ini selalu digaungkan bahwa IMM UINSA memiliki kader yang aktif, kritis, serta militan.

Akan tetapi, dalam forum ini pula dapat kita lihat, bahwa eksklusifnya Madrasah Mubadalah ini, yang mana hanya diisi dan diikuti oleh para IMMawati, dikhawatirkan akan menjadi salah satu penyebab tidak beraninya para IMMawati untuk berdiskusi, serta beradu argumen dengan para IMMawan pada saat berada satu forum.

Tentunya kita tidak bisa menafikan, bahwa para IMMawati saat ini hanya berani berdiskusi dengan sesama gender ketika berada pada suasana nyaman mereka saja. Hal ini merupakan sebuah bentuk peringatan dini bagi para IMMawati guna meningkatkan nalar kritis dan keaktifan dalam menyumbang ide serta beradu gagasannya, agar tidak lagi muncul narasi bahwasannya perempuan hanya pelengkap dalam kehidupan organisasi.

Terlebih lagi menurut saya, situasi ini memang dirasa menjadi sebuah keresahan yang ada saat ini utamanya pada Komisariat yang saya cinta, yakni Avempace, sekalipun kuantitas IMMawati lebih banyak ketimbang IMMawan, akan tetapi hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan mereka dalam hal berpendapat.

Pada akhirnya, saya berasumsi, apakah mungkin hal ini pula yang menjadi cikal bakal mengapa para IMMawati pada muktamar IMM ke-20 tidak terlihat di sembilan formatur terpilih pada DPP IMM periode 2024-2026 ini, yang mana pada muktamar kemarin formatur yang terpilih seluruhnya adalah para IMMawan.

Berbeda dengan muktamar IMM ke-19 yang masih ada sosok IMMawati yang mampu bersaing dan menjadi sembilan formatur terpilih, hal ini tentunya menjadi tanda tanya besar, mengapa tidak ada Formatur terpilih dari pihak IMMawati? Jangan-jangan IMMawati tidak mampu bersaing? Atau memang para IMMawati ini sudah enggan tampil?

Hal ini tentunya menjadikan sebuah pemantik diskusi pada jajaran komisariat Avempace itu sendiri, banyak asumsi dan narasi yang mana memiliki pro dan kontra masing-masing.  Pada diskusi yang cukup tegang kala itu, muncul statement menarik dari sang ketua umum PK IMM Avempace yang mana mengatakan “IMMawati kurang diberi ruang pada ranah DPP” hal itu disinyalir karena beliau menyoroti kurangnya IMMawati pada DPP IMM secara kuantitas, dan merasa DPP IMM kurang dalam hal branding para IMMawati.

Akan tetapi tak berselang lama, ada salah satu jajaran militan, dengan ciri khas kuncir pink dan rambut gondrong yang mungkin tidak bisa disebut rambut itu, lalu menjawab serta membeberkan fakta, bahwa sebetulnya secara kuantitas para IMMawati pada ranah DPP IMM 2021-2023 pusat ini sudah terbilang cukup, dan sudah mengisi pada beberapa bidang.

Dari sini kita mampu melihat, bahwa para IMMawati ini sebetulnya secara kuantitas sudah bisa dinilai cukup keberadaannya, akan tetapi mereka (IMMawati) dirasa masih enggan untuk menunjukan eksistensi yang akhirnya membuat mereka kurang terlihat kualitasnya. Sebuah kenestapaan tak berujung, mempertanyakan mengapa peran para IMMawati ini masih kurang militan dan terlibat aktif dalam kehidupan organisasi.

Dari sini timbul sebuah pertanyaan dalam diri penulis, apakah karena secara kuantitas kader perempuan Avempace kalah secara kuantitas dengan kader laki-laki Avempace yang mana mungkin saja itu menjadi salah satu alasan mereka kurang aktif? Atau mungkin belum munculnya “sosok” yang mana apabila kita melihat menggunakan teori Behavioristik, yakni Modelling dari sosok pemantik yang berani memulai terlebih dahulu agar yang lain terpancing? Atau memang semua ini karena para IMMawati itu sendiri yang mengalami degradasi ghirah dalam berorganisasi?

Komisariat Avempace, yang saat ini sudah mulai menunjukkan progresifitasnya dari yang dulunya komisariat kecil yang hanya segelintir kader sekarang sudah mempunyai puluhan kader, baik itu yang aktif, maupun belum aktif. Dari puluhan kader dari Avempace itu sendiri, jika dihitung, hampir 60 hingga 70% merupakan kader IMMawati. Menurut penulis dengan jumlah tersebut tentunya dapat menjawab pertanyaan di atas.

Lantas mengapa ketika saya mengamati dalam hal diskusi, dialog, dan walau sekedar berbicara saja dengan para IMMawati, mereka ini masih sangat pasif, atau mungkin saja mereka terlalu apatis akan hal itu? Bagi saya fenomena ini adalah sesuatu yang harus segera dibenarkan, agar ke depannya para IMMawati ini memang memiliki power.

Mereka bisa menentukan apa yang mereka inginkan, tidak hanya “sendiko dawuh”, lebih-lebih hanya pelengkap saja pada tubuh Organisasi. Serta tidak lagi bergantung dan memasrahkan kehendak kepada laki-laki saja, bisa berpendapat, dan menyuarakan apa yang selama ini menjadi keresahan, kebutuhan dan keinginan para kaum perempuan ini. 

Peran IMMawati, khususnya pada komisariat Avempace diharap mampu lebih pro aktif melihat dan menyikapi apa yang ada saat ini, dan ke depannya. Karena, tidak bisa kita pungkiri, mungkin saja ke depannya tongkat estafet kepemimpinan komisariat ini akan berada pada tangan IMMawati. Lantas, jika tidak dimulai sekarang kesadaran akan memiliki ikatan ini, lalu kapan lagi?

Sejatinya, apabila kita Kembali melihat perempuan dan organisasi, maka akan memunculkan point penting yang ingin dicapai oleh perempuan itu sendiri. Salah satu hal yang diharapkan dari para perempuan ini mereka mampu memanfaatkan ruang yang sudah diberi, guna lebih memaksimalkan potensi diri, agar ke depannya, para perempuan ini juga mampu menandingi para pria dalam hal apapun.

Dalam IMM sendiri, diharapkan peran IMMawati ini semakin menggeliat dan bisa berdinamika agar ke depannya, slogan IMM Jaya itu tidak hanya sebagai slogan yang disebut setiap acara saja, akan tetapi mampu terimplementasikan dengan baik dalam berproses di ikatan ini sendiri.

Kita memasuki ikatan ini dengan keadaan sadar, dan kita menerima Amanah ini dengan besar hati di awal kepengurusan. Maka pada saat itu pula, kita sudah tercatat guna mempertanggungjawabkan kelak, apa yang kita lakukan dalam berproses selama di ikatan ini. Ikatan ini tidak boleh mati, ikatan ini wajib mekar nan harum semerbak karena kualitasnya, bukan hanya karena kuantitasnya saja.

 

Editor: Nirzam Fahruh Irgy Al Hafidz

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA