Ketika "The Babble Effect" Mengaburkan Substansi Kepemimpinan Organisasi
Gambar oleh photosvit, diunduh melalui istockphoto.com |
Penulis:
Fauzan Arya Daniswara (Anggota bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM
Avempace)
Beberapa
hari lalu muncul video yang menarik di linimasa akun instagran saya melalui
postingan reels mojokdotco saya tertarik dengan pembahasan
"The Babble Effect" yang diuraikan Adam M. Grant, professor
psikologi organisasi terkemuka di Wharton School, University of Pennsylvania,
saya tergerak untuk mengeksplorasi lebih jauh fenomena menarik ini dalam
konteks kepemimpinan organisasi.
Grant
mengungkapkan bagaimana pemimpin acap kali lebih mementingkan kemampuan
berbicara yang memukau daripada kompetensi dan kapabilitas substantif yang
seharusnya menjadi syarat utama.
Pada
banyak kasus, pemimpin organisasi terpilih karena kemahirannya dalam
menyampaikan retorika yang memikat, menggunakan bahasa yang bombastis dan penuh
jargon, namun gagal mengomunikasikan pesan inti secara jernih dan dapat
dipahami dengan mudah oleh anggota organisasi. Mereka terampil dalam mengelola
narasi, memanipulasi persepsi, bahkan memanfaatkan relasi kuasa untuk
kepentingan politik.
Ironisnya,
mayoritas anggota organisasi seakan terpesona dengan pesona retorika sang
pemimpin. Mereka patuh dan setia mengikuti, tanpa mempertanyakan lebih jauh
mengenai kompetensi, rekam jejak, dan kinerja yang seharusnya menjadi tolok
ukur utama.
Fenomena
ini dapat dikaitkan dengan pemikiran Aristoteles mengenai retorika
yang terdiri dari etos, pathos, dan logos. Etos merujuk pada kredibilitas dan
karakter sang pemimpin, pathos pada kemampuan mempengaruhi emosi pengikut,
sementara logos pada kemampuan logis dan rasional dalam berpikir.
Dalam
kasus "The Babble Effect" dalam kepemimpinan
organisasi, para pemimpin cenderung lebih mengandalkan pathos - memukau
pengikut melalui kemampuan orasi yang mengesankan. Namun, mereka gagal
membangun etos yang solid berdasarkan kompetensi dan rekam jejak. Akibatnya,
meski mampu memikat pada awalnya, kepemimpinan mereka perlahan-lahan kehilangan
legitimasi di mata anggota organisasi.
Dampak
yang ditimbulkan dari fenomena ini tentu sangat merugikan. Organisasi yang
seharusnya digerakkan oleh sosok-sosok visioner dan kredibel, justru
terombang-ambing di tengah lautan retorika yang tak berujung. Visi dan strategi
menjadi kabur, pengambilan keputusan terjebak dalam lingkaran perdebatan yang
tak produktif. Pada akhirnya, tujuan besar organisasi tak lagi tergapai.
Lebih
jauh lagi, pemimpin yang hanya mengandalkan "The Babble
Effect" cenderung memanfaatkan relasi kuasa untuk kepentingan
politik sempit di lingkungan organisasi, seperti kampus. Mereka lebih
mementingkan aktivitas-aktivitas yang hanya bersifat tebar pesona, tanpa
memperhatikan apakah kegiatan tersebut benar-benar berdampak positif bagi
kemajuan organisasi.
Untuk
memutus lingkaran setan "The Babble Effect" dalam
kepemimpinan organisasi, dibutuhkan kesadaran dan ketegasan dari seluruh
komponen anggota. Pemilihan pemimpin harus didasarkan pada kompetensi,
kapabilitas, dan rekam jejak yang teruji, bukan sekadar pesona retorika yang
memikat. Anggota organisasi juga harus lebih kritis dan berani mempertanyakan
sosok-sosok yang tampil dengan kemampuan berbicara yang gemilang namun miskin
substansi.
Hanya
dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa organisasi dipimpin oleh
sosok-sosok visioner yang mampu menerjemahkan kata-kata menjadi aksi nyata,
membawa organisasi menuju arah yang jelas. Bukan sekadar pemimpin yang terpikat
pada "The Babble Effect", terbelenggu dalam perangkap narasi
yang menyesatkan dan memanfaatkan relasi kekuasaan untuk kepentingan sempit.
Meskipun
teori "The Babble Effect" yang diungkapkan Adam M.
Grant menarik dan menyorot sisi menarik fenomena kepemimpinan, terdapat
beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan secara kritis yaitu Grant mungkin
terlalu menyederhanakan kompleksitas kepemimpinan dengan hanya berfokus pada
kemampuan berbicara.
Efektivitas
seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh keterampilan retorika, tetapi juga
oleh faktor-faktor lain seperti kharisma, visi, integritas, dan kemampuan
membangun tim yang solid. Dengan demikian, teori ini berisiko mengabaikan
kontribusi penting aspek-aspek kepemimpinan yang tak kalah krusial.
Grant
cenderung menggeneralisasi temuannya terlalu luas, padahal efektivitas
kepemimpinan sangat bergantung pada konteks budaya organisasi, jenis
kepemimpinan yang dibutuhkan, serta harapan para pengikut. Apa yang berlaku di
lingkungan akademis tempat Grant berkarya mungkin tidak sepenuhnya dapat
diterapkan di ranah bisnis, politik, atau sektor lainnya.
Selain
itu, teori ini juga kurang mempertimbangkan situasi-situasi di mana kemampuan
berbicara menjadi faktor penting, misalnya saat krisis atau saat dibutuhkan
inspirasi. Dalam konteks tertentu, keterampilan komunikasi yang memukau memang
dapat menjadi aset penting bagi seorang pemimpin.
Sumber :
MacLaren,
N. G., Yammarino, F. J., Dionne, S. D., Sayama, H., Mumford, M. D., Connelly,
S., Martin, R. W., Mulhearn, T. J., Todd, E. M., Kulkarni, A., Cao, Y., &
Ruark, G. A. (2020). Testing the babble hypothesis: Speaking time predicts
leader emergence in small groups. the Leadership Quarterly/the Leadership Quarterly, 31(5),
101409. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2020.101409
https://within3.com/blog/the-babble-hypothesis-quantity-vs-quality
https://bigthink.com/leadership/babble-hypothesis-leader/
Editor: Nirzam Fahruh Irgy Al Hafidz