Ketua yang Kehilangan Syahwatnya
Gambar oleh studio-fi, diunduh melalui istock.com |
Penulis: Mahbub Junaidi (Ketua Bidang Organisasi Koorkom IMM UINSA)
Sebenarnya aku tak ingin menyinggung masalah ini, kiranya sudah selesai dan sudah muak dibahas oleh penulis-penulis dahulu untuk memenuhi website yang masih dirintis. Namun, entah kenapa kali ini aku masih menganggap hal ini penting, dengan kebodohan realita yang masih menjamur di dalam otak para ketua. Praktiknya masih selalu bersinggungan dengan SPI (Sistem Perkaderan Ikatan), bukan tambah baik, namun hemat saya memandang menjadi sebuah kemerosotan yang jauh dari kata kolektif kolegial, dan tentu saja tulisan ini membahas mengenai perkaderan.
Pasalnya, isu reshuffle yang dulunya
menjadi sebuah guyonan atas lelahnya mengawal perkaderan kini diwujudkan dengan
pertimbangan dangkal yang jauh dari asas berorganisasi di Muhammadiyah. Begitu
lucunya komunikasi tak tuntas, melepas segala yang tak selaras menjadi sebuah
penolakan atas progresifitas.
Kini setiap komisariat mulai mengajukan
gugatan, dengan kajian sepihak untuk meniadakan orang yang baru berpijak.
Jangankan jajaran lama seangkatan yang sudah pernah menjabat bersama, bahkan
adik tingkat yang dulunya dikader sendiri pun hendak dihilangkan tanpa
menanyakan semengakar apa ideologi yang ditanamkan. Berbicara sumpah palapa
layaknya pendekar cinta yang berasal dari dalam goa, gagah dan mendikte seakan
kebenaran ada di tangannya.
Berbicara penanaman ideologi, tentunya
bukan hanya sekedar omongan belaka atau bahkan pesan grup yang diteruskan dari
pesan-pesan lainnya. Namun penanaman ideologi lebih daripada itu, memerlukan
proses panjang yang tak kenal siang dan malam bahkan sesekali memenuhi
kebutuhan-kebutuhan primer yang sebisa mungkin diupayakan. Dalam bahasanya dr.
Suetomo disebut dengan istilah “cinta kasih” sedangkan yang disebutkan oleh Abdul
Munir Mulkhan disebut dengan istilah “etos welas asih”. Kiranya itu yang membuat
Muhammadiyah tetap hidup hingga sekarang.
Internalisasi ideologi ini tentunya
bukan seperti meneguk air minum di tengah kehausan saat buka puasa, namun lebih
tepatnya seakan mengambil intan dari batu yang cadas tak bergerak apabila
dipukul dengan palu yang tumpul. Maka perlu proses untuk mengambilnya, mengetuk
sekali dalam sehari, asalkan istiqamah akan sampai pada tujuan sebenarnya.
Sebab manusia bukanlah kertas kosong yang apabila ditumpahi tinta hitam semua,
namun manusia yang hadir dan datang kepada kita adalah orang-orang yang telah
terwarnai hatinya hingga memilih dan memiliki tujuan untuk bergabung dan
berjuang dalam ikatan yang kita cinta.
Kewajiban kita bukan untuk menuding gambar-gambar yang salah, namun mengambil sela dan menghapus serta mengganti gambar yang kurang indah dengan gambar yang lebih indah. Tentunya tidak akan ada penolakan yang frontal, yang ada hanyalah kekaguman atas seni yang demikian menawan. Awal dari arus internalisasi adalah dengan membuatnya terpukau, menjadikan ikatan sebagai pacar pertama dan manusia sebagai pacar kedua. Damai sudah hidup apabila telah tercapai indikator tersebut. (sayangnya tidak semudah yang dibayangkan)
Konsep dasar ini selalu dikembangkan di setiap periodenya, membuat berbagai acara dan diskusi untuk memberikan yang terbaik. Mewadahi aspirasi yang terkadang juga salah memaknai. Mengada-adakan daya walaupun mestinya tak mampu lagi hanya untuk diajak berbicara. Semua itu hanya tentang perkaderan. Hanya saja kita terlalu terobsesi atas lelah kita, menjadi murka hingga pandangan gelap gulita. Menerobos kawat besi yang berduri untuk melampiaskan semua dan tak kuat reshuffle pun menjadi jalan yang membabi-buta.
Kiranya cukup dimaklumi atas kebodohan
realita yang ada, tanpa diamini sebab bertentangan dengan garis kekeluargaan
yang setiap orang berhak menentukan nasibnya. Tinggal bagaimana sebagai seorang
pemimpin bertahan dengan kelunakan hati yang telah terbentuk seperti baja. Tak
cukup satu buku silabus perkaderan untuk memahami manusia yang unik dan
kompleks kiranya. Hanya kesabaran dan keikhlasan menjadi sebuah obat yang tiada
dua bahkan apotek pun tak mampu menjualnya.
Permasalahannya seringkali kita menganggap orang lain sebagai objek benda yang tak memilki daya, sehingga ketika muncul kekuatannya kita tak mampu mewadahinya. Namun, tak pernah sekali kita berkompromi mengandai-andai jika kita dalam posisinya.
Bukankah kita keluarga? Lalu apakah salah jika mereka menemukan jati dirinya?
Kenapa bukan diwadahi saja? Kenapa harus dibenci dan dihilangkan? Bukankah
harus dirayakan? Sekali lagi mereka adalah keluarga, sekecil apapun
keaktifannya ia tidak akan pernah lupa bahwa ia pernah mendaftarkan diri di
ikatan ini.
Sesekali berguru kepada sejarah amat
perlu kiranya dalam membangun spirit berorganisasi dan membangkitkan semangat
layaknya harimau lapar yang dibangunkan dari tidurnya. Terinspirasi seakan
kesurupan Jin Ifrid satu negara dalam tubuh dan tenaga yang lemah. Tentu akan
berkobar dan menggebu-gebu layaknya pejuang kemerdekaan 1945. Merasuk ke dalam
gerakannya, tak ada alasan untuk tunduk pada realita yang melemahkan dan
perasaan yang condong pada kehancuran.
Akar rumput ikatan tentu ada dalam setiap ruh komisariat yang disokong bersama. Dengan penuh harapan yang kuat melahirkan aktivis-aktivis hebat yang berdaulat atas dirinya. Sekali lagi, ini tidak mudah dan membutuhkan proses panjang yang penuh luka dan derita.
Menjadi pengembala kambing pun tak semudah yang dibayangkan, kadang sesekali merasakan kehilangan akibat kambingnya yang hilang, atau akan merasa marah ketika masa diserunduk kambing yang disayanginya, terkadang akan merasa berdarah terkena sabit saat mencari makan untuk kambingnya. Tapi di sanalah ujian menjadi seorang pengembala, bagaimana proses pengajaran dan pelajaran atas kepemimpinan yang penuh dengan halang rintang. Dukanya akan menjadi sebuah kenangan indah yang dirindukan dalam nestapa sepi saat semua teman dan kawan hilang dibeli oleh zaman. Akan menjadi pengembala tua yang duduk sambil menatap awan putih yang dianggapnya domba.
Tulisan ini menunggu sebuah balasan atas pembelaan yang dianggapnya benar, yang mendukung pemikiran akan gerakan reshuffle dari komisariat yang tak mampu melaksanakan perkaderan dan rapuh dalam gerakan. Daripada berdebat tanpa buah lebih baik tuangkan dalam sebuah karya sebagai cerminan aktivis yang sebenarnya.