Kader IMM 180° (1)
Gambar oleh Nataliya Vaitkevich, diunduh melalui pexels.com |
Penulis: Zaki Az Zahwa Nuryahya (Anggota Bidang Kader PK IMM Leviathan)
Mengamati dan memahami karateristik individu merupakan sebuah kesenangan penulis dalam berorganisasi, bukan berarti penulis “fetish”. Hanya sekedar adanya kesenangan ketika mengetahui latar belakang setiap individu. Faktanya, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, terdapat “kader 180°” dalam organisasi IMM. Lantas, apakah kader ini merugikan dalam organisasi? Belum tentu.
Sebelum
membahas lebih jauh, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan apa yang dimaksud
dalam diksi judul tulisannya. “Kader 180°”
merupakan sifat kader yang dapat berubah dengan mudah seperti halnya membalikkan
telapak tangan yang mana awalnya kader tersebut aktif, namun setelah berselang
waktu menjadi pasif dalam organisasi IMM, atau bahkan sebaliknya. Yah, mungkin
lagu berjudul muak yang dinyanyikan oleh Aruma sesuai dengan pernyataan
di atas, “Awal menggebu-gebu, semangatnya tak seperti dulu, aku MUUAAKK”.
Penulis
berpendapat, hal tersebut tidak mungkin dapat dihindari dalam sebuah organisasi yang sama halnya dengan hukum alam. Mungkin beberapa jajaran akan pasrah
melihat kader yang seperti ini dan ada juga yang merelakannya, “yaudah sih
wir”. Akan tetapi, ada beberapa jajaran yang masih berjuang untuk
mempertahankan semangat kader-kadernya dalam ber-IMM dengan menggunakan
beberapa metode pendekatan. Yah, semua tergantung dari setiap pimpinan
komisariat masing-masing, apakah dapat mengatasi permasalahan tersebut atau
tidak.
Ada
beberapa faktor terciptanya “kader 180°”
di IMM. Pertama, yang paling umum adalah ketidaknyaman seorang kader dalam IMM.
Kedua, tidak adanya feedback terhadap kontribusi kader di IMM. Ketiga, “dianaktirikan” oleh komisariat atau perkaderan komisariat yang kurang merata.
Keempat, tidak dapat memanajemen waktu antara kuliah, organisasi internal kampus
(yang ikut-ikut aja) dan IMM. Kelima, tidak punya kenalan teman seangkatan,
sehingga menimbulkan rasa sungkan dan malas. Dari kelima ini, merupakan “kader
180°”
dalam pengertian awalnya kader aktif di IMM menjadi kader pasif. Jika
kita biarkan permasalahan ini, lambat laun akan menggerogoti tubuh organisasi
itu sendiri, yang akan menimbulkan sebuah penyesalan.
Sedangkan,
faktor kader yang awalnya pasif di IMM menjadi kader aktif ialah: Pertama,
memiliki kesadaran tinggi terhadap regenerasi kader di IMM. Kedua, diberikan
sebuah tanggungjawab atau sebuah amanah. Ketiga, adanya apresiasi dari para
jajaran ketika kader memiliki progress dalam perubahan dirinya sendiri. Keempat
dan kelima, TIDAK ADA.
Ada
beberapa cara dalam menanggulangi permasalahan “kader 180°”
menurut pengalaman penulis: Pertama, dalam sistem perkaderan perlunya
pendekatan yang merata dan konsisten. Yang dimaksud merata dan konsiten adalah
kader secara keseluruhan, dikader oleh komisariatnya tanpa pandang bulu, laki-laki
maupun perempuan. Adapun, berkonsisten dalam perkaderan berfungsi untuk
menciptakan kader yang berkualitas. Sebagaimana hal ini sesuai dengan tujuan
IMM yang terdapat dalam Sistem Perkaderan Ikatan (SPI).
Kedua,
sering melakukan apresiasi terhadap prestasi ataupun kemajuan kader, sekecil
apapun itu. Dalam hal ini, penulis rasa akan memiliki pengaruh yang cukup besar,
karena manusia akan lebih senang saat usahanya benar-benar dihargai. Apresiasi
dapat dilakukan secara verbal (dengan lisan atau tulisan) maupun non-verbal (dengan
perbuatan).
Ketiga,
memberikan apa yang diinginkan oleh kader. Saat kader di berikan apa yang ia
inginkan, maka kader akan merasa tidak sia-sia mengikuti organisasi IMM ini.
Akan tetapi, hal ini juga perlu ditegaskan bahwa perlu adanya feedback dari
mereka. Yang mana, hak-hak seorang kader telah dipenuhi oleh komisariat dan
kader juga harus memberikan kontribusi kepada komisariat. Ketidak adaannya feedback,
kerap kali kita temui di organisasi. Sehingga, terjadinya keruntuhan sebuah
organisasi.
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa adanya “kader 180°” merupakan sebuah tantangan dalam organisasi dan kesenangan saat melihat kadernya aktif lagi. Tantangan inilah yang akan menjadi sebuah pengalaman hidup yang sangat berharga. Apabila organisasi tanpa adanya tantangan dan permasalahan, penulis yakin organisasi akan monoton atau “GAK MENARIK CAK”, ujar penulis. Dan apabila dalam suatu organisasi terdapat progres atau kemajuan dari kadernya, sedikit apapun kemajuan tersebut, akan sangat berharga bagi setiap organisasi.
“Kader 180°” dapat dikatakan sebagai salah satu indikator keberhasilan komisariat dalam sistem perkaderannya, entah gagal maupun berhasil dalam mengatasi permasalahan tersebut. Maka, yang perlu dilakukan ialah menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasikan sistem perkaderan komisariat. Ketiga hal ini perlu didapat oleh penulis saat mempelajari terkait dengan Taksonomi Bloom. Penulis bertujuan untuk memberikan ilmunya kepada para pembaca, karena penulis berpegang teguh dengan “Al-‘Ilmu Bila Amalin, Kasyjari Bila Tsamarin” yang artinya ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah.