Digitalisasi Pendidikan, Membantu atau Membuat Buntu?
Oleh Metamorworks. Diunduh melalui istock.com |
Penulis: Maftukh Ghulam Mursyidan (Ketua Bidang Kader Komisariat Al Farabi)
Dunia kependidikan saat ini telah mengalami perubahan yang signifikan ketimbang pendidikan di zaman yang lampau. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahannya dapat dikatakan mampu untuk mengubah sistem pendidikan zaman dahulu, seperti pendidikan dalam sejarah islam, contohnya Talaqqi atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai pertemuan antara guru dan murid pada suatu tempat secara langsung tanpa adanya perantara untuk melakukan proses pembelajaran dan pendidikan. Metode ini menjadi syarat wajib bagi perawi-perawi hadits untuk dijadikan patokan suatu hadits menjadi shohih atau dho’if jika syarat tersebut tidak terpenuhi. Dengan adanya metode belajar Talaqqi ini mampu menjadi indikator bahwa perhatian islam akan sumber ajarannya benar-benar diperkuat dan diperketat penyeleksiannya. Hal-hal seperti ini jelas mampu memperlihatkan bahwa pendidikan di zaman dahulu tidak bisa diremehkan akan keseriusannya dalam pemerolehan suatu hal khususnya ilmu pengetahuan.
Beralih ke konteks pendidikan zaman saat ini, dimana telah kita ketahui banyak sekali perubahan, baik dari sistem, cara, maupun sumbernya. Entah disetujui atau tidak, sebagian masyarakat menyambut secara antusias akan pesatnya teknologi saat ini. Mereka menganggap teknologi adalah sesuatu yang secara langsung dapat meringankan pekerjaan mereka. Dalam beberapa alasan, hal tersebut menjadi benar adanya. Namun, di sisi lain mereka tidak mengerti bahwa hal yang mereka anggap bermanfaat ini, bisa menyeret dalam ketidakpedulian akan nasib mereka sendiri. Integrasi teknologi dalam pendidikan saat ini tidak bisa kita pungkiri menjadi jauh lebih mudah dan efisien untuk digunakan oleh masyarakat, khususnya bagi kalangan pelajar dan pengajar. Pemberian tugas, pengumpulan tugas, penjelasan materi pembelajaran, hingga presensi siswa pun dapat dilakukan secara online yang diperantarai oleh teknologi itu sendiri. Pengajar dan pelajar di Indonesia mempunyai asumsi bahwa pendidikan saat ini memerlukan adanya digitalisasi yang lebih pesat lagi karena mereka merasa hal tersebut sedikit banyak membantu untuk mencapai suatu tujuan dalam pembelajaran.
Kebermanfaatan yang telah pelajar dan pengajar dapatkan dalam digitalisasi pendidikan, membuat mereka abai akan mudharat-mudharat yang juga akan mereka dapatkan nantinya jika menganggap remeh adanya digitalisasi tersebut. Hal-hal yang perlu dikhawatirkan dengan adanya digitalisasi dalam dunia pendidikan adalah yang pertama, menurunnya keterampilan pelajar atau peserta didik dalam proses pembelajaran. Suatu sistem teknologi pembantu manusia yang kini kerap dibicarakan dan dipergunakan oleh masyarakat adalah AI (Artificial Intelligence). Seiring berkembangannya waktu, AI mulai memasuki dunia pendidikan dengan pesat. Semua pengetahuan baik umum maupun non-umum tersedia dalam sistem teknologi ini. Pihak yang merasa paling diuntungkan disini adalah para peserta didik. Biasanya, mereka menggunakan sistem teknologi ini untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru mereka dengan tujuan supaya cepat selesai dan bisa segera dikumpulkan. Hal seperti ini yang mampu membuat keterampilan dan cara berpikir peserta didik terhambat. Mereka berpikir bahwa dengan menggunakan teknologi tersebut akan membantu menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Akan tetapi, hal yang justru terjadi adalah penghambatan pola berpikir mereka sendiri yang disebabkan adanya AI ini. Penggunaan AI untuk membantu para peserta didik sebenarnya boleh-boleh saja dilakukan. Karena dengan pesatnya teknologi saat ini, tidak bisa kita hindari untuk masuk dalam dunia pendidikan. Untuk mengatasi hal tersebut, peserta didik sebisa mungkin menggunakan keterampilan mereka untuk menjawab atau mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Adanya AI hanya sebatas pembantu ketika mereka mengalami kesulitan dalam menjawab yang mana jawaban tersebut tidak tersedia di dalam buku yang mereka miliki.
Hal-hal yang perlu dikhawatirkan kedua, dengan adanya digitalisasi dalam dunia pendidikan adalah nilai kejujuran yang mulai pudar pada diri peserta didik. Sebagai contoh adalah adanya presensi peserta didik secara online. Sebelum teknologi memasuki ranah pendidikan, presensi biasanya dilakukan di kelas oleh guru dengan memanggil murid-muridnya satu persatu. Meski tidak semua, dewasa ini dengan adanya teknologi yang maju, presensi siswa bisa melalui akses internet. Hal yang menguntungkan dengan adanya presensi online adalah lebih fleksibel dan tidak membutuhkan waktu yang lama saat pengecekan kehadiran. Akan tetapi, peserta didik yang merasa diuntungkan dengan adanya hal tersebut, menyalahgunakannya untuk bolos atau tidak masuk saat jam pelajaran. Hal ini bisa terjadi, sebab keteledoran seorang guru yang merasa cukup dengan adanya presensi online tanpa diadakan pengecekan kembali terhadap murid-muridnya. Dengan kesalahan yang dilakukan guru tersebut, memancing peserta didik untuk melakukan tindakan berbohong dengan mengisi presensi secara online akan tetapi mereka tidak hadir di dalam kelas. Jika hal seperti ini terus dibiarkan, peserta didik akan selalu melanjutkan tindakan kebohongannya yang akan merambat pada kebohongan-kebohongan selanjutnya bahkan di ranah yang lebih besar.
Selain dari kedua hal di atas, problematika yang timbul sebab adanya digitalisasi dalam dunia pendidikan adalah ketidakpedulian para pelaku dalam dunia kependidikan baik itu pengajar maupun peserta didik. Pada tahun-tahun sebelumnya, dunia sedang dilanda wabah Covid-19 yang berimbas pada dunia pendidikan. Sekolah-sekolah ditutup, hingga memaksa pembelajaran dilakukan secara daring dari rumah. Pembelajaran pada waktu itu menggunakan aplikasi Zoom atau Google Classroom yang mana kedua aplikasi tersebut membantu proses pembelajaran jarak jauh. Hal ini jelas berbeda sekali dengan metode pendidikan dalam sejarah Islam, yaitu Talaqqi, yang diharuskan adanya pertemuan guru dan murid selama proses pembelajaran dan pendidikan yang berlangsung. Dalam pembelajaran jarak jauh ini, kedua belah pihak, pelaku proses pembelajaran kerap meremehkan proses pembelajarannya. Dari pengajar misalnya, ia memberikan materi pembelajaran hanya sebatas “memberikan” tanpa adanya rasa memahamkan kepada murid yang ia ajar. Hal ini terjadi karena kurangnya rasa kepeduliaan terhadap arti pendidikan dan tidak fahamnya kewajiban sebagai guru terhadap muridnya. Dari sudut pandang peserta didik, mereka yang melakukan pembelajaran secara online melalui aplikasi Zoom, sebagian besar dari mereka tidak pernah memerhatikan guru saat memberikan materi pembelajaran karena guru juga tidak bisa memantau langsung apa saja yang dilakukan muridnya ketika ia mengajar secara daring. Akibat dari hal tersebut, peserta didik memanfaatkannya untuk lebih fokus kepada hal lain dari pada memperhatikan guru yang sedang mengajar.