Teologi Al-Ma’un dan Konsep Pembebasan Hasan Hanafi (Bagian 1)
Foto oleh Steve Johnson, diunduh melalui pexels.com |
Penulis:
Mahbub Junaidi (Ketua Umum IMM KUF)
Pemikiran
tentang sebuah kebebasan adalah sebuah impian yang mutlak
bagi siapa saja. Bahkan sekelas hewan yang tidak dianugerahi akal oleh Tuhan
selalu mendambakan kebebasanya. Maka sudah selayaknya manusia yang mengandung
unsur hewan dan tumbuhan dalam konsepnya Ibnu Arabi,
memiliki keinginan untuk bebas. Namun impian mengenai
kebebasan ini yang kemudian masih menjadi persoalan.
Dalam
Islam
sendiri paradigma mengenai pembebasan dan kebebasan sangatlah membludak,
hanya saja dalam pengamalannya selalu mengalami miss persepsi don
kolot akan pendapatnya sendiri. Terbatasi oleh doktrin yang membuat seseorang
menjadi lebih memilih taklid
terhadap ritus, ibadah dan dogma teologi yang ortodoks.
Sehingga
Islam
yang seharusnya menjadi rahmat dan keselamatan bagi seluruh
makhluk di muka bumi, bertolak belakang dengan ajaran Islam
yang sebenarnya. Jangankan menjadi rahmat. Pada
kenyataannya, Islam sendiri yang berbasis tauhid malah menjadi tameng dalam keburukan.
Fakta yang bisa ditoleh salah satunya adalah mengenai politik, yang seringkali
memperdagangkan agama untuk menaikkan elektabilitasnya sendiri dalam
pencalonannya.
Pembahasan
teologi yang tidak pernah selesai selalu menimbulkan persoalan-persoalan baru
dalam agama. Hal ini mengakibatkan pertengkaran dalam meraup kebenaran yang
menjadi sangat subjektif. Adanya kesibukan dalam mempersoalkan agama selalu
mejadi pembahasan yang sangat menarik, namun sangat minim pengimplementasiaanya
dalam kehidupan yang sebenarnya. Akibatnya menimbulkan dua hal yang seharusnya
saling melengkapi terpisah menjadi substansi sendiri.
Dalam
kajian Hasan Hanafi juga menegaskan tentang sebuah pembebasan yang tidak kalah
menariknya dengan tokoh lainnya. Konsep pembebasannya,
beliau tawarkan dengan konsep yang disebut al-turath wa al-tajdid atau
yang juga bisa disebut dengan tradisi dan pembaharuan. Karenanya teologi
merupakan sebuah ilmu atau teori yang bertindak sebagai metode analisis teori
tindakan, sedangkan ilmu-ilmu sosial lainnya merupakan
sebuah gerakan atau pengimplementasian dari teori yang telah dikaji.
Maka
dari itu rekonstruksi teologi Islam hari ini sangat mendesak untuk
dilakukan, untuk membawa umat Islam lebih maju dan
lebih progresif lagi. Dilihat dari berbagai agama Islam hari ini berada pada
tingkatan sekian, dengan penganutnya yang dapat dibilang banyak namun secara
kualitas sangat berbeda jauh dengan uamt beragama lainnya.
Secara spiritual, Islam memiliki nilai yang lebih
mendalam dibandingkan dengan agama lainnya. Tapi sayangnya secara pengaplikasian Hindu
dan Budha lebih diminati dengan konsep meditasinya.
Hasan
Hanafi mengatakan bahwasanya tradisi yang dimiliki oleh umat Islam perlu
adanya dialektika dengan transisi yang membawa manusia kepada arah yang lebih
modern lagi. Hal ini sangatlah penting dengan melihat keterlibatan langsung
umat muslim terhadap perkembangan zaman. Munculnya fenomena ini diiringi dengan
gerakan pembaharuan agama yang lebih dititik beratkan pada keautentikan daripada modernitas. Sedangkan kaum intelektual selalu
memberikan dorongan kepada modernisasi dibandingkan dengan keautentikan.
Sedangakan
pada prinsipnya keduanya lelalu berkaitan dan berdampingan secara penuh.
Bagaimana tidak, sedangkan apabila keautentikan yang
tidak dibarengi oleh modernitas akan menimbulkan keberulangan yang menjenuhkan
dan tidak ada progresifitas di dalamnya. Sedangkan apabila modernitas
yang tidak dibarengi dengan keautentikan akan berakibat fatal dalam
berbagai hal, sebab landasan yang digunakan tidak ada.
Contoh
saja berpidato, jika berpidato hanya sekedar berbicara di atas
mimbar maka pidatonya hanya sebatas orang yang datang
saja yang tau. Sehingga dakwahnya akan menjadi
stagnan karena selalu orang itu saja yang mendengarkan, dan lama-kelamaan
akan menjadi bosan kemudian hilang dengan sendirinya. Namun ketika modernitas
tanpa dibarengi dengan keautentikan seperti penggunaan internet,
maka internet pun lama-kelamaan akan menjadi tidak menarik dan juga akan hilang
dan digantikan dengan media yang lainnya dan juga memiliki nasib yang sama
dengan sebelumnya.
Maka
dengan itu keduanya harus disatukan untuk mencapai sebuah kemutlakan
yang dapat lebih bermanfaat dan lebih aplikatif dari sebelumnya. Berpidato akan
lebih menarik lagi apabila dibarengi dengan dakwah digital, hal-hal yang baru
akan muncul dan lebih progresif lagi. Sedangkan penggunaan internet juga akan
lebih masif lagi dengan adanya varian baru yang memberikan kebermanfaatn bagi
siapa yang menggunakannya. Yang akhirnya secara tidak langsung keduanya akan menjadi
lebih kuat dan lebih baik lagi ke depannya.
Sebab
dalam agama Islam dijelaskan di dalam Q.S. Az-Zariyat ayat 56, “Dan akau tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Ayat ini diturunkan setelah para
malaikat mengetahui akan diturunkannya khalifah di muka bumi. Ayat ini juga merupakan sebuah jawaban terhadap para malaikat
yang bertanya kepada Allah mengenai tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini.
Hal yang sangat menarik dari ayat ini adalah
tentang pengabdian manusia. Pengabdian manusia ini merupakan bentuk ketaatan
manusia kepada Allah melalui ibadah-ibadahnya. yang membuat menirik di sini adalah konsep ibdah manusia yang
juga vertikal dan horizontal. Konsep peribadatan vertikal ini dibahas di dalam Q.S. Al-Ikhlas dan juga Q.S. Al-Kafirun yang membahas tuntas mengenai
konsep ketuhanan dan ketauhidan.
Tentunya konsep ibadah secara vertikal ini nantinya juga akan lebih
dibasas secara mendalam lagi dan merinci dalam surah lainnya. Hanya saja konsep
ketuhanan dan ketauhidan sudah dijelaskan secara jelas dalam Q.S. Al-Ikhlas dan surah Q.S. Al-Kafirun. Sedangkan pembahasan
ibadah secara horizontal dibahas secara tegas dalam surah Al-Maun yang juga
menjadi dasar gerakan Muhammadiyah hingga saat ini. Di sana dijelaskan siapa saja orang-orang
yang mendustakan agama, yang tentunya di dalam ayat-ayat lain akan ada penguatan dan penjelasan secara
merinci lagi tentang tugas manusia di muka bumi yang juga dapat disebut
dengan ibadah horizontal.
Sayangnya seringkali praktek dari Q.S. Al-Maun ini menjadi persoalaan besar, yang
terkadang seringkali ditunggangi dnegan kepentingan-kepemtngan pribadi. Sehingga perikemanusiaan yang dimiliki oleh setiap
muslim itu bisa ditebak sesuai dengan musimnya. Yang dimaksud musim di sini adalah seperti musim politik,
musim puasa, dan lain sebagainya. Padahal setiap kali seseorang diberikan rezeki oleh Allah, ada rezeki orang lain yang dititipkan juga.
Q.S. Al-Ma’un yang memiliki konsep teologi
pembebasan menjelaskan pembahasan yang sangat simpel dan mudah dipahami. Pada
ayat perama kita disodorkan dengan sebuah pertanyaan yang sangat filosofis.
Yaitu, “Tahukah kamu orang-orang yang
mendustakan Agama?” Pertanyaan ini tentunya mengisyaratkan
bahwasanya banyak sekali orang-orang yang mengaku beragama namun tidak serius
dalam beragama. Tidak sesuai dengan dasar dan perintah Allah Swt.
Dalam ayat selanjutnya, “Maka itulah orang-orang yang menghardik
anak yatim”. Ciri-ciri orang yang mendustakan agama; Pertama, yaitu tentang menghardik anak yatim. Menghardik merupakan perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang dengan mengolok-olok, menghina, mencaci bahkan hingga
menyakiti yang disakiti. Sedangakan anak yatim adalah anak yang kehilangan
ayahnya sehingga dia lemah tak berdaya karena tidak ada yang mampu membelanya.
Anak yatim juga dapat diartikan sebagai orang
yang lemah. Lemah dari sudut manapun sehingga dia tidak mampu membela
dirinya yang sedang disakiti. Sebab sosok ayah merupakan orang yang melindungi
dan kekuatan dalam diri ataupun rumah tangga. Singkatnya, yatim ini dapat dimaknai sebagai kata satir yang diturunkan oleh Allah
dalam menggambarkan kelemahan manusia.
Artinya tidak perlu menunggu orang lain itu
kehilangan bapaknya dan dianiaya sehingga termasuk golongan orang yang lemah. Namun ketika orang tersebut tidak
mampu membela dirinya maka dia termasuk ke dalam golongan orang yang yatim.
Sedangkan orang yang menganiaya, akan masuk ke dalam golongan yang mendustakan agama
Allah.
Pada ayat ketiga dijelaskan mengenai kekikiran
seseorang yang mengaku beragama Islam, yang enggan memberi makan orang miskin. Yang mana arti
pada ayat ketiga yaitu, “Dan enggan memberimakan orang
miskin”. Secara sekilas saja ayat ini sudah sangat jelas memberi tahu
tentang orang
yang mendustakan agama adalah orang yang kikir terhadap hartanya, dengan keengganan untuk memberikan
pertolongan terhadap orang lain.
Ayat ini sangat menarik jika ditelisik lebih
mendalam. Orang yang miskin bukan saja tentang
harta, namun mengenai tenaga, akal, juga ilmu termasuk dalam indikator kekayaan dan kemiskinan. Maka
siapa saja yang enggan membatu orang lain dengan tenaganya, akalnya ataupun
ilmunya, merupakan salah satu indikator orang tersebut adalah orang-orang
yang mendustakan agama.
Maka sangat mudah sekali menjadi orang yang kaya,
tidak harus memiliki rumah yang megah, harta melimpah, kedudukan menjadi raja, dsb. Namun hanya dengan tolak ukur dia
lebih mampu dari orang lain yang miskin dalam hal ilmu, tenaga, akal dan lain
sebagainya, orang tersebut dapat disebut sebagai orang yang kaya. Alasan bersedekah
atau membantu orang lain dengan dalih menunggu kaya adalah sebuah alasan yang
sangat menghinakan jika dibandingkan dengan hujannya rahmat dan nikmat yang
diberikan terhadap orang tersebut.
Lanjut ke Bagian 2