Pengalaman Organisasi, Masih Jadi Misteri
Foto oleh Ryan Robinson diunduh melalui pinterest |
Penulis: Naufal Zaidan Aryunsah
(Sekretaris Bidang Riset Pengembangan dan Keilmuan IMM Ibnu Rusyd)
Membahas tentang mahasiswa dan perjalanan kuliah memang tak lepas
dari salah satu aktivitas yang sering jadi sorotan publik di kampus, yaitu
organisasi. Ada banyak sekali pilihan organisasi di kampus, ada organisasi yang
dikategorikan berdasarkan tingkatan fakultas maupun universitas, jenis program
studi, organisasi daerah, dan lain lain.
Kemauan pengembangan diri melalui organisasi adalah stigma yang
dimiliki kebanyakan mahasiswa, mengikuti organisasi dengan tujuan menambah
pengalaman dan jaringan yang mengarah pada hal positif. Jika disadari lebih
mendalam organisasi bukan ruang yang fokus pada pengembangan diri sepenuhnya,
melainkan ruang kontribusi yang berfokus pada kepentingan, tujuan, dan
pencapaian bersama.
Bisa dikatakan kalau setiap organisasi memiliki kekurangan yang
harus disadari sedini mungkin, kekurangan organisasi sendiri tidak hanya
menimbulkan efek pada seluruh pengurus maupun keberlangsungan organisasi
tersebut, tapi ada tanda tanya permasalahan yang menyinggung efek kekurangan
organisasi terhadap individunya.
Pertanyaan itu adalah “apakah setiap individu yang aktif di
organisasi dipastikan mendapat personal branding yang
memadai?” dan “apakah pengalaman organisasi itu bekal yang menjamin terciptanya
karakter yang bagus di dunia kerja?”
Ada individu yang mengandalkan totalitas saja dalam mengikuti
rangkaian kegiatan organisasi, individu tersebut cenderung kurang rasa ingin
tahu sejauh mana organisasi bergerak dan bagaimana konsep yang dibuat oleh
organisasi dalam mensukseskan sebuah kegiatan. Asalkan individu itu menjalankan
tugas sesuai tupoksinya, selebihnya dia acuh terhadap komunikasi antar anggota
maupun program kerja yang bukan bagiannya.
Di organisasi, kita memang dituntut berpikir untuk mengelola,
mengontrol, menyatukan, membangun, hingga merawat citra organisasi tersebut
agar mendapat nilai positif dari para anggotanya maupun orang sekitar. Tapi
kenyataannya, tidak semua pengurus atau anggota organisasi itu memiliki naluri
untuk berpikir bahkan ada yang kerap mengemukakan pendapat atau memberi arahan
pada anggota, namun individu itu sendiri tidak sepenuhnya sanggup
merealisasikan ide atau gagasan yang disampaikan.
Selain itu, persoalan yang jarang sekali diperhatikan adalah sikap
individu yang sekedar mengikuti organisasi tapi tak terlibat aktif dalam
kontribusi. Biasanya dilatar belakangi karena sejak awal cuma berniat mengikuti
keinginan teman, dalam artian individu itu tak punya niat maupun kesiapan yang
teguh untuk bergabung di organisasi. Ciri-ciri individu yang menjadikan organisasi
sebagai tempat menaruh status adalah, acuh menjalankan tugas dan peran, kurang
mendukung berjalannya sebuah program kerja, hingga rasa enggan mengkoordinasi
perencanaan, dan pelaksanaan dari organisasi.
"Pengalaman organisasi itu hanyalah bekal untuk membentuk
kita menjadi pribadi yang punya jiwa sosial." Mengapa cuma demikian ?
Karena berorganisasi adalah pilihan dari setiap individu, jika dia
memakai hak nya dengan menggali potensi di organisasi, melatih keterampilan
dalam aspek yang diperlukan dalam kehidupan masa kini dan masa depan, lalu
kemauan mengenali kapasitas diri sendiri dan orang lain, maka individu tersebut
akan menerima perubahan berkemajuan dari segi kualitas diri, sehingga dapat
memberi efek positif pada personal branding. Begitu pula sebaliknya, jika
individu hanya bersikap semaunya dalam berorganisasi maka pengalaman maupun
keterampilannya pun tentu menjadi keraguan bagi sebagian orang yang menilai
dari caranya menyikapi kehidupan sehari hari, hal itu pula yang jadi penghambat
munculnya personal branding.
Kemudian di dunia kerja nanti, pengalaman organisasi yang kita
nyatakan belum tentu jadi tolak ukur yang jadi peluang besar bisa diterima atau
ditempatkan di bagian kerja yang kita inginkan. Lantaran saat ini banyak
instansi yang membutuhkan pelamar yang punya pengalaman kerja maupun
keterampilan individu yang bisa digunakan untuk menunjang kebutuhan sebuah
instansi.
Bahkan ada orang yang dulunya punya riwayat jabatan penting di
organisasi kampus seperti ketua, wakil, maupun ketua divisi yang pada akhirnya
menjadi pengalaman tak membuahkan keberuntungan nasib saat dihadapkan pada
taraf kebutuhan lingkungan kerja. Mungkin pula masih banyak para sarjana yang
paham tentang organisasi atau bisa mengemban amanah di organisasi sebelumnya
dengan maksimal, tapi karena minimnya pengalaman dunia kerja atau tidak adanya
statistik serta bukti kelebihan yang dimiliki oleh individu, sehingga
menyebabkan tergerusnya kesempatan untuk mendapat pekerjaan.
Secara keseluruhan, organisasi memang sebuah wadah sekaligus
aktivitas yang mengarah pada nilai kebenaran yang dapat diterima dan diakui
oleh orang sekitar. Akan tetapi kita jangan sampai terlena dengan mengandalkan
organisasi sebagai batu loncatan untuk mengantar kita pada sebuah pencapaian.
Apa yang dicapai oleh organisasi adalah proses dan hasil karena adanya
interaksi bersama, sedangkan pencapaian atau prestasi kerap terwujud dari usaha
diri sendiri sebagai pembuktian bahwa potensi yang dimiliki individu itu dapat
dijadikan apresiasi.
Kita boleh sibuk mengurus organisasi, tapi kita perlu menyadari
bahwa harus ada pencapaian diri sendiri sebagai reputasi yang terpandang lebih
tinggi atau setidaknya mampu menunjukkan keahlian yang kita punya, sehingga
orang yang bersangkutan percaya jika keberadaan kita dapat diandalkan di setiap
kebutuhan.