Bukan Tujuan, tapi Orientasi dengan Tuhan
Penulis: Arofa Elvasana
Hanifa (Ketua Bidang Kader IMM Ibnu Rusyd)*
Tulisan ini diawali
dengan pengalaman penulis ketika menjadi peserta Darul Arqam Dasar (DAD) di
tahun 2021. Kala itu, di materi Ke-IMM-an yang penulis sendiri lupa nama
pematerinya siapa, tapi masih teringat jelas apa yang disampaikan dari beliau. Pada
closing steatment, beliau berucap, “Berorganisasi
dengan ber-IMM itu dua hal yang berbeda.”
Kalimat tersebut
diucapkan saat penutupan. Alhasil tidak ada segmen diskusi lagi untuk membahas
kejelasan dari kalimat tersebut. Bingung kala itu apa perbedaanya. Secara
konteks bukankah itu sama? Bukankah IMM juga organisasi yang menjadi wadah
untuk kadernya dalam menumbuhkan atau mengembangkan soft skill seperti leadership,
time management, manajemen konflik dsb.
Tidak sampai di situ
kebingungan penulis. Pada Mei 2022 saat penulis bertugas di salah satu DAD luar
komisariat sendiri, pada materi Ke-IMM-an juga pematerinya memberikan closing statement berupa “IMM bukan
tentang aku dan kamu, tapi tentang kita dan Tuhan”. Mulanya kalimat tersebut
hanya dianggap sebagai angin lalu. Tapi semakin lama, semakin terpikirkan
kenapa Tuhan dilibatkan di sini.
Saat itu penulis hanya
menyimpulkan jika kalimat tersebut adalah interpretasi dari salah satu Ideologi
IMM, yakni enam penegasan pada poin keenam, “Amal IMM semata-mata ikhlas
lillahi ta’ala.”
Di awal Februari kemarin,
penulis juga bertugas di DAD komisariat yang lain. Pada materi Ke-IMM-an juga, pemateri menjelaskan
bahwa, “Jika di IMM, jangan jadikan IMM sebagai tujuan, tapi jadikan IMM
sebagai orientasi dengan Tuhan.”
Ya Allah apalagi ini? Semakin
kompleks saja orang-orang dalam mendefinisikan IMM. Dari ketiga pemateri itu,
mereka menggambarkan IMM dari sudut pandangnya masing-masing. Namun saat
melakukan pemahaman arti dari semua itu, hasilnya akan merujuk pada kesimpulan
yang sama. Tidak lain dan tidak bukan hanya ikhlas.
Sangat jenuh rasanya di setiap
penutupan rapat ataupun kajian, pasti diselipkan kalimat penyemangat berupa
dukungan dan reminder untuk selalu
ikhlas. Bukankah sampai detik ini kita masih bernafas di ikatan adalah wujud
dari ikhlas? Jikalau tidak ikhlas, pasti sudah kabur melarikan diri dari kapan
lalu. Karena dari awal tahu jika organisasi ini adalah nonprofit. Lantas ikhlas
seperti apa yang diinginkan?
Dari situ, penulis menjadi
tambah bingung, kenapa kader yang baru akan memasuki gerbang ikatan sudah
diberi penekanan untuk ikhlas. Padahal masa-masa menjadi kader baru, adalah
masa yang semua keinginan akan berusaha dikabulkan oleh jajaran.
Mengapa konteks ikhlas
ini tidak disampaikan saat jenjang upgrading
atau di forum lain saja? Penulis sendiri melihat ikhlas akan lebih mudah
dirasakan saat pribadi berada di titik kepayahan. Sedangkan saat itu
disampaikan di dalam DAD, kader baru tentu belum merasakannya.
Mengapa tidak dibahas
saja kiat menjadi akademisi Islam yang berakhlak mulia. Atau memberikan
penekanan untuk memaksimalkan apa yang ada di organisasi. Mengapa tidak
ditekankan agar mau membuka diri berdiskusi dengan jajaran? Atau bahkan anjuran
untuk mengkritik, agar terjadi sebuah adu gagasan antar jajaran dan kader yang
akan dijalankan bersama. Bisa juga kan mengajak kader untuk berpikir bahwa
ber-IMM hanya sebentar, jadi jangan melewatkan segala peluang yang ada.
Semua itu lebih penting
daripada belum apa-apa sudah disuruh ikhlas. Bukankah lebih baik mengompori
kader untuk berkreasi. Dan, saat ia jenuh menjalankan kreasinya, baru diajak merenungi
tentang ikhlas. Karena pada saat itu lah kader dalam titik jenuh dalam perjuangan.
Mengimplementasikan
ikhlas bukanlah hal yang mudah, yang sudah mendapatkan bekal kajian tentang
ikhlas saja belum tentu bisa melakukannya, apalagi yang belum punya bekal. Bahkan
orang yang yakin dirinya telah ikhlas bisa jadi hilang keikhlasannya karena
keyakinan tersebut. Maka sebenarnya tidak salah jika pemateri-pemateri di atas
memberikan closing statement berupa
kalimat penyemangat tentang ikhlas. Mungkin penempatan penyampaiannya saja yang
penulis kurang setuju.
Tidak ada satu pun
gerakan IMM yang tidak bersifat kolektif. Hal tersebut yang terus memicu diri
untuk ikhlas. Akan sulit rasanya saat kita berproses hanya untuk menyenangkan
hati seseorang. Padahal dalam IMM, semua amal akan mendapatkan balasan sesuai
dengan pemateri pertama di atas. Dan, dari pemateri ketiga bisa kita jadikan
IMM sebagai orientasi dengan Tuhan itu benar kiranya, akan semakin dekat dengan
Tuhan saat diri berada dalam keikhlasan.
Menjadi kader IMM bukan
hal yang mudah. Namun berhenti di tengah jalan merupakan hal yang salah. Tak
heran mengapa sebelum salam dilantunkan “fashtabiqul khairot”. Karena di sini
untuk berlomba dalam kebaikan, bukan kebaikan yang dilombakan.
Semua akan semakin indah, jika diri dan keikhlasan melangkah beriringan untuk mengusahakan tercapainya tujuan ikatan.
*Penulis adalah Staf Redaksi IMM UINSA