Mencoba Menghentikan Sistem, Perlukah Edukasi Formal Dipatahkan?
Sumber: Pinterest |
Penulis: Mohammad Rizal Abdan Kamaludin (Ketua Umum IMM Saintek)
Haruskah
kita menjadi mahasiswa yang rajin, banyak prestasi, percaya diri, aktif di
kelas maupun organisasi serta memiliki banyak relasi? Ataukah itu hanya potret
harapan dari pemerintah, dosen, orang tua, dan orang-orang yang benar-benar
berharap agar kita jadi orang yang sukses? Kita disekolahkan dari kecil hingga
SMA maupun di bangku perkuliahan dengan harapan agar dapat hidup layak di masa
yang akan datang.
Namun
sepertinya ada satu kesalahan di pendidikan negara tercinta kita ini. Bukankah Ikan
Marlin itu jauh lebih baik saat berenang. Elang dengan nyamannya terbang
melintasi awan. Cheetah cepat dalam berlari memburu mangsa. Tetapi apa jadinya
jika elang berenang di laut, marlin berlari di savanah, dan cheetah menyelam di
lautan. Apakah mereka akan tetap dapat menjalankan pekerjaan mereka dengan
baik? Oke, Saya suka bekhayal dan berpikir pasti kalau semuanya dapat bekerja
dengan baik meski tidak sesuai bidang yang dikuasai, pasti akan keren.
Tetapi
bagaimana caranya dapat melakukan hal tersebut? Kita dipaksa untuk dapat
menguasai berbagai bidang mata pelajaran mulai dari IPA, IPS, bahasa, agama, olahraga,
dan masih banyak lagi. Tetapi apakah guru yang kita lihat saat menerangkan
suatu mata pelajaran juga menguasai seluruh mata pelajaran tersebut?
Mungkin
ini menjadi pengalaman pribadi seseorang, yang dulunya ingin masuk prodi X,
malah masuk ke prodi yang sebenarnya tidak ia ketahui bahkan diminati. Hanya
dengan alasan, harus linier dengan jurusan, jangan lintas minat, nanti kalau
gagal nama sekolah yang akan tercoreng. Apakah ini termasuk mematahkan angan
dan cita-cita seseorang?
Lantas
ketika sudah masuk perkuliahan, ia tidak dapat bersemangat dalam berkuliah.
Temannya ada yang menyemangati dengan mudahnya seperti, “Cintai apa yang kamu
kerjakan, jangan kerjakan apa yang kamu cintai, ini sudah terlanjur, nasi sudah
jadi bubur”.
Eh,
okay, ini sedikit merumitkan pikiran. Toh siapa yang mau makan bubur, saya
lebih suka soto. Dan, saat itu pula terpikirkan untuk mematahkan sistem yang
selama ini ada.
Setiap
hari terpikirkan untuk menerangkan pemikiran yang saya miliki. Merasa jengkel
setiap memikirkannya, tetapi mungkin bubur tidak buruk juga. Maksudnya, setiap
hal pasti ada positif dan negatifnya, tapi saya mau hal yang lain.
Bukan
yang ini, untuk penerus saya nanti entah mungkin adek saya, adek kalian semua,
yah pokoknya yang membaca tulisan ini. Semoga lebih mematangkan apa yang
menjadi mimpi-mimpimu, meski dihadang oleh realita. Setidaknya hati kecilmu
masih dapat berbisik bahwa, “Ayolah, bukankah kau mau makan soto itu? dengan
kerupuk dan nasi yang banyak, mengapa malah makan bubur?”
Suatu
hari dengan kegabutan saya yang memang gabut akhirnya menemukan video yang
sedikit mencerahkan. Salah satu video dari Raymond Chin, seorang YouTuber sekaligus founder dari salah satu start-up
di Indonesia yaitu Ternak Uang.
Video itu menjelaskan bahwa banyaknya online course yang memiliki trik
licik dalam memasarkan course-nya. Namun poin penting yang saya dapatkan
adalah bahwa banyak atau kurang lebih 80% orang merasa salah jurusan dan saat fresh graduate bekerja tidak sesuai
dengan jurusan perkuliahannya.
Lalu
apakah memang sistem yang ada ini benar-benar efektif? Kita mulai mundur pada
bagian di mana edukasi formal ini muncul. Edukasi formal dimulai saat China
mengajarkan kepada para rakyatnya untuk memanah, memainkan pedang, bertarung,
yang ujung-ujungnya masyarakat mereka digunakan untuk berperang.
Lantas
dari video yang dijelaskan dari Raymond Chin ini, saya dapat berpendapat jika
kita ini seperti sebuah produk yang sedang diolah di sebuah pabrik bernama
edukasi formal, dengan harga yang mahal, kualitas yang mungkin juga tidak
seberapa.
Lalu
dengan banyaknya data mahasiswa yang bekerja tidak sesuai dengan jurusannya,
apakah memang benar-benar pabrik ini sudah sukses atau belum? Ada yang
benar-benar menghasilkan produk yang sudah siap ekspor, ada yang menghasilkan
produk KW super.
Bagaimana
tidak? Banyak yang lebih mementingkan akreditasi daripada mengajar para
mahasiswa yang sudah membayar UKT mahal-mahal. Lalu berpendapat, “Mahasiswa itu
harusnya lebih aktif untuk mencari informasi, belajar sendiri.” Lahh, terus
mending ikut edukasi informal aja dong.
Di
sini hanya mencari nama saja, mencari gelar, mencari ijazah untuk bekal keluar
pabrik edukasi formal dan digunakan oleh para konsumen di luar sana. Mending
ikut edukasi informal aja dong? Lebih murah dan fleksibel. Kalau mau belajar soft
skill juga mending ikut organisasi yang benar-benar bergerak langsung
dengan masyarakat.
Duhh,
kok jadi kaum mendang-mending. Masih banyak yang berharap dapat berkuliah. Mereka
yang ingin mengubah nasib keluarganya dengan pendidikan yang lebih tinggi,
gelar yang lebih terhormat. Bahkan, hingga rela mengorbankan hati nuraninya.
Ada
postingan lucu yang juga menjadikan saya semangat untuk menuliskan hal-hal ini.
Salah satu postingan Instagram di akun 9gag yang tertulis “Me on my way to blame the education system because I failed the test I
didn’t study for.” Pemikiran yang muncul dari postingan ini mungkin seperti
ini (Kalau yang menanggapinya dengan serius) “Lah berarti kan salah sendiri ga
belajar, makanya ga dapat nilai, kok malah nyalahin sistem?”
Tentu
orang akan belajar, orang akan semangat melakukan sesuatu, rela berkorban, rela
meluangkan waktunya, untuk sesuatu yang ia cintai. Ini hanya anggapan pribadi,
tetapi jika orang tidak belajar bukan berarti hanya sekedar malas saja.
Bukankah bisa saja ia tidak menikmatinya? Ia tidak menikmati proses karena
tidak sesuai dengan apa yang dia ingin, bukan apa yang dia bisa.
Tidak
semua edukasi memang semenjengkelkan ini, di Indonesia terutama. Tentu masih
banyak edukasi yang benar-benar edukasi. Hmm apa sih edukasi? Cari sendiri! Kita
bisa meniru negara lain yang sumber daya manusianya dapat memiliki pendidikan
yang lebih baik, tertata, dan tidak membuat malas.
Bagaimana
orang tidak akan malas, jika ia saja terpaksa masuk ke pabrik (edukasi formal)
tanpa mendapat persetujuan hati nurani. Awalnya pasti bahagia, tetapi saat
sudah melewati beberapa fase, semester, atau rasa patah hati yang lain. Ia baru
menyadari.
“Kan
keduanya (edukasi formal dan informal) pasti memiliki nilai plus dan minusnya?
Lalu kenapa dipermasalahkan?” Tentu, lihat saja sendiri di Google, jawabannya
ya itu-itu aja, saya tidak mau menulis plus-minus dari kedua hal
tersebut, selain malas menuliskannya, bukankah lebih baik kalian cari sendiri
di Internet? Sekarang siapa yang malas?
Bersembunyi
dalam dinding pemahaman realistis, dengan mengaggap idealis sebagai omong
kosong belaka, mengaggap mimpi hanya bisa dicapai saat tidur saja. “Sudahlah
kubur saja mimpimu,” serunya.
Bukankah kita saja yang malas, karena sistem edukasi yang itu-itu saja. Saya tidak tahu menahu perihal sesuatu yang idealis atau realis, yang saya tahu, rasa sesal tidak pernah datang di awal.