Sebuah Esai yang Bingung Mau diberi Judul Apa
Bagaimana cara
untuk menyelesaikan serangkaian masalah-masalah pelik di dalam organisasi?
Sebagai disclaimer,
tulisan ini akan sangat bertele-tele dan benar-benar menyita waktu luang
untuk ber-Tiktok ria, memantau reels yang viral, maupun bermain game.
Jadi kalau
pembaca masih punya banyak kesibukan, bukalah tulisan ini lain kali saat luang,
lumayanlah untuk meningkatkan traffic website.
Oke, karena ini
akan sangat bertele-tele seperti caramu mendekati si doi yang tidak sat-set,
mari kita awali dengan sebuah cerita pendek.
***
Pada suatu pagi
yang cerah, seseorang kader dengan semangat membara datang ke kantor
sekretariat karena matkulnya kebetulan libur. Sebuah kebetulan yang sebenarnya
ia syukuri.
“Wah, kotor
sekali! Eh, tapi saya tidak kaget sih. Pasti ini ghanimah dari acara
rapat komisariat tadi malam. Wah, ghanimah yang tidak perlu.”
Dengan semangat
Annadhafatu Minal Iman, ia segera mengambil sapu dan cikrak. Setelah
bersih, ia lantas kembali ke kampus, untuk menunaikan mata kuliah yang
berikutnya.
Menuju agak
siang, seorang kader lainnya datang dengan wajah yang melas. Wajahnya
itu ia dapat karena satu hal, yaitu kajian yang diagendakan komisariatnya pagi
ini sangatlah sepi.
Hanya hadir dua
kader dari sekian belas yang sebelumnya menyatakan diri bisa datang. Iya, dua
kader, termasuk dirinya. Kenyataan terkadang menyakitkan, terlebih jika sedikit
yang datang saat kajian.
“Tidak apa, esok
pasti akan ramai, aku harus membangun pendekatan dan lebih rajin lagi melakukan
chat dengan kader-kaderku,” ujarnya menyemangati diri.
Ia lalu rebahan
sejenak, berusaha memejamkan mata dan larut menuju tidur, seakan lupa kalau
setelah ini ada matkul. Sebuah ketidaksengajaan yang sedikit disengaja.
Sembari
memejamkan mata, ia bertekad lirih dalam hatinya, “Kami akan membangun Komsiariat
Ushul Fiqh dan Teknologi (nama disamarkan) ini menjadi komisariat percontohan
intelektual se-Surabaya! Lihat saja beberapa tahun kedepan!”
Meskipun ujung-ujungnya
ia segera bangun karena teringat bahwa noda di absensinya sudah tidak dapat
dimaafkan lagi.
Menjelang sore,
seorang kader datang ke kantor sekretariat untuk rapat kegiatan. Ia adalah
ketua panitia dari agenda besar tahunan di organisasi ini.
“Makin lama,
makin sepi saja yang hadir saat rapat,” keluhnya sembari menengok jam yang
sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB, dimana itu adalah waktu yang disepakati
untuk memulai rapat.
Namun ia
berusaha menunggu teman-temannya yang lain. Mungkin telat sedikit, karena
agaknya tidak bisa dikatakan sebagai orang Indonesia kalau tidak memegang erat
filosofi jam karet.
Tibalah adzan
maghrib. Sembari mendengar pujian Allahul Kafi Rabbunal Kafi dari masjid
sebelah, ia menghitung hanya ada enam orang dari sekian puluh yang seharusnya
hadir rapat.
“Tema
kebersamaan? Tema macam apa ini?”
Solusi
Problematika Organisasi?
Cerita fiksi berbau
kenyataan di atas ini mungkin saja pernah terjadi. Tapi serius, penulis
hanya mengarang-ngarang. Tidak sedang mendeskripsikan pengalaman siapapun.
Tapi jangan-jangan,
kita pernah mengalami kejadian yang mirip-mirip seperti kisah di atas.
Berorganisasi itu mudah dan menyenangkan bukan? Bukan.
Tapi lelah kan?
Berorganisasi dengan visi tinggi, namun realita sangat mengecewakan. Sialnya,
kita alami itu berkali-kali.
Terkadang kita
merasa segala usaha yang kita lakukan, segala waktu yang kita korbankan, uang
tabungan untuk gorengan, jerih payah, keluh kesah, bahkan air mata, yang untuk
organisasi kita tercinta ini, rasanya berakhir sia-sia.
Hanya kecewa,
dan sedikit tertawa sembari di-roasting kakak-kakak senior karena
kondisi tak kunjung membaik yang didapatkan.
Lantas apa arti
semua itu?
“Haruskah kita
ikut diklat organisasi sebelah, kakak?”
Bukan gitu
konsepnya Maguire!
“Lantas kita
harus apa?” ujar tiga kader dari cerita pendek di atas.
“Ya berusaha,”
ujar penulis.
“Sudah sendirian, cerita kami dibuat mengenaskan. Ujung-ujungnya
cuma disuruh usaha doang. Gini amat jadi tokoh cerita fiksi,” keluh mereka
secara kompak.
Sebentar-sebentar, justru untuk mendeskripsikan usaha yang dimaksud,
maka tulisan bertele-tele ini dibuat. Kita sudahi sambatnya, mari kita mulai
upaya solutifnya.
Karena jika tidak, Ketua Koorkom yang menjabat sekarang akan me-roasting,
“Dasar lemah! Bepikir cara!” sembari melantunkan quote favoritnya
yang dikutip dari Sujiwo Tejo, “Hidup jangan pernah khawatir selama ndassmu
masih dikandung badan.”
Komisariat dan Laboratorim Gagasan
Masalah ada untuk diselesaikan, seberat apapun itu. Sependek
pengetahuan penulis, bukankah karena itu ilmu pengetahuan lahir dan berkembang
sampai bercabang-cabang?
Apa korelasi antara masalah dengan ilmu pengetahuan yang kita
miliki?
Setiap hari kita belajar, menjalani kepadatan perkuliahan di tengah
banyaknya tugas-tugas. Banyak sekali materi yang kita pelajari di dalam
kelas-kelas. Tidak adakah satu saja yang bisa kita praktekkan saat
berorganisasi?
Tentunya pasti ada. Ilmu pengetahuan yang kita pelajari, bisa
menjadi sebuah solusi dari permasalahan yang kita hadapi. Penulis percaya hal
tersebut bisa dilakukan.
Misalkan ada masalah terkait komitmen dalam berorganisasi yang
rendah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin penelitian Cahyo Wibisono ini dapat
bermanfaat.
Penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa iklim komunikasi
organisasi cukup berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi.
Apa itu iklim komunikasi? Bagaimana menerapkannya? Saya rasa, kader-kader
dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi dapat mempelajari ini.
Contoh lain adalah masalah minat berorganisasi yang rendah.
Organisasi tidak memiliki daya tarik sehingga jumlah kader menurun.
Jangan-jangan penyebabnya ada pada persepsi.
Muhammad Ardi
pernah melakukan penelitian terkait hal ini. Salah satu kesimpulan
penelitiannya adalah terdapatnya hubungan positif antara persepsi terhadap
organisasi dengan minat berorganisasi.
Tidakkah kita penasaran apa itu persepsi tehadap organisasi? Apa
faktor yang memengaruhinya? Kader-kader dari Fakultas Psikologi dan Kesehatan
mungkin bisa mempelajarinya.
Atau terkait bagaimana melakukan kaderisasi? Beberapa hari lagi,
kader-kader IMM angkatan 2021 secara de facto akan menjadi pimpinan.
Salah satu kewajiban mereka adalah mengkader teman-teman dari angkatan 2022.
Bagaimana cara melakukannya? Apa itu kaderisasi? Mungkin
kader-kader dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan pernah mempelajari teori belajar
andragogi Malcolm Knowles, teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori
kecerdasan majemuk Howard Gardner, dsb. Bagaimana cara menerapkannya? Bagaimana
hasilnya? Efektifkah?
Masih banyak lagi penelitian-penelitian yang serupa, terlebih
dengan variabel yang berbeda-beda atau teori-teori yang beragam sebagai
alternatif untuk membaca dan memcahkan permasalahan.
Bukankan asyik jika keilmuan yang kita miliki digunakan untuk
melakukan analisis dari masalah yang kita temui? Menjadikan komisariat sebagai
laboratorium gagasan? Sepertinya dapat menunjang perkuliahan kita sekaligus
menyelesaikan masalah pelik dalam organisasi yang kita rawat dengan sepenuh
hati ini.
Sebagaimana kita juga dirawat oleh organisasi untuk menjadi
kader-kader yang memiliki makna dalam setiap langkahnya.
Terlebih ketika kader-kader setiap komisariat dengan keilmuan
masing-masing berusaha menerapkan apa yang dipelajari secara teoritis di kelas,
lalu diimplementasikan di komisariatnya dalam rangka belajar.
Hasilnya dapat didiskusikan antar komisariat. Berdiskusi dan saling
tukar gagasan yang membahas ilmu dan implementasinya. Bukankah ini menarik
untuk disaksikan?
Sepaham pengetahuan penulis, bukankah hal semacam ini berkorelasi
dengan tujuan dari IMM itu sendiri, yaitu mencetak intelektual-intelektual yang
nantinya mampu berpartisipasi memecahkan persoalan dan merumuskan solusi di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Sebelum memecahkannya di masyarakat, agaknya organisasi adalah
tempat belajar yang tepat. Banyak masalah di organisasi justru adalah fase yang
menarik dan tidak perlu disesali.
Tidak ada organisasi yang nihil masalah. Semisal jika tidak
ditemukan masalah, maka jangan-jangan itulah masalahnya.
Mungkin ada yang berpikir bahwa semua itu, kalau dipikir-pikir akan
sangat berat dilakukan. Belajar memahami teori-teori itu adalah tantangan di
tengah zaman yang katanya, generasi mudanya memiliki minat literasi yang rendah.
Katanya loh, ya!
Maka, mari kita renungkan ucapan Imam Syafi’I yang cukup populer, "Jika
kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan
perihnya kebodohan."
Penulis sendiri berpendapat, belajar adalah upaya meraih keberhasilan
dengan syarat mau melewati serangkaian kegagalan.
Misalnya dari pengalaman penulis sendiri, ketika menghabiskan stok
kopi milik Ketua Koorkom yang menjabat saat ini, penulis melewati banyak sekali
trial and error. Sampai kopi itu terasa pas di lidah, tentu tidak
tercipta dari satu-dua percobaan.
Sepertinya belajar pun demikian, bukan? Tidak paham, pelajari lagi.
Lelah belajar, istirahat sejenak. Masih tidak paham, kajian bareng
senior yang paham. Buntu, ya mungkin salah jurusan, awokwokwok.
Terakhir, mungkin ada pertanyaan, “Bagaimana jika sudah dilakukan
tapi gagal? Organisasi masih gini-gini aja?”
Untuk menjawabnya, agaknya kita harus praktik dulu, deh.
Author: Habib Muzaki (Ketua Umum IMM KUF 2021-2022)
Editor: Fadhlur Rahman