Mas Mansur: Angin Segar Muhammadiyah
Mas Mansur adalah salah satu tokoh Muhammadiyah yang lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di Kampung Sawahan, Surabaya. Ayahnya bernama K.H. Mas Achmad Marzuqi, yang merupakan seorang ahli agama yang terkenal di Jawa Timur.
Pada saat itu beliau memiliki jabatan terhormat karena
dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Sunan Ampel Surabaya. Kemudian
ibunya yang bernama Raudhah berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo
Surabaya yang merupakan putri keenam dari 14 saudara dari cucu H. Abdul Latief
Sagipudin yang terkenal dengan sebutan Gipo.
Mas Mansur memang belajar agama kepada ayahnya sudah
sedari kecil. Di samping itu, beliau juga belajar di Pesantren Sidoresmo dan
berguru kepada Kyai Muhammad Thaha. Kemudian Mas Mansur dikirim ayahnya ke
Pondok Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura pada tahun 1906 ketika beliau
sedang menginjak usia sepuluh tahun. Pada tahun 1908, Mas Mansur yang umurnya
masih sangat muda menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah.
Namun, situasi politik di Saudi memaksanya untuk
pindah ke Mesir dan kurang lebih empat tahun ia belajar di sana. Beliau
kemudian pergi ke Mesir tanpa izin dari orang tuanya karena pada awalnya memang
ayahnya tidak mengizinkan beliau untuk pindah ke Mesir.
Beliau sempat harus menjalani kepahitan dan kesulitan
hidup karena orang tuanya tidak mengiriminya biaya untuk sekolah dan hidup di
sana. Mas Mansur kemudian belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar Kairo, Mesir. Disini,
beliau sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Maskawih.
Di tanah
kelahirannya, Mas Mansur memulai langkahnya dengan bergabung dalam Sarekat Islam
(SI). Pergolakan politik yang ditemui selama di Makkah maupun di Mesir
menginspirasi Mas Mansur muda untuk berorganisasi di Indonesia.
Mas Mansur juga pernah membentuk majelis diskusi yang
diberi nama ‘Taswirul Afkar’ bersama K.H. Abdul Wahab Chasbullah. Tashwirul
Afkar juga turut mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota
seperti Nahdatul Wathan yang menitikberatkan pada pendidikan.
Kelanjutan dari Nahdatul Wathan, Mas Mansur dan Mbah
Wahab mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air),
madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al Wathan di
Gresik, dan Hidayah al Wathan di Jombang. Setiap mendirikan kegiatan baru,
mereka memberi nama belakangnya “wathan” yang berarti tanah air. Dari sana
dapat diketahui bahwa betapa besar kecintaan mereka pada tanah air.
Mas Mansur bergabung dengan organisasi Muhammadiyah
pada tahun 1921. Aktivitasnya dalam Muhammadiyah membawa ‘angin segar’ dan
memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Kariernya
dalam organisasi Muhammadiyah terlihat meningkat. Ia pernah menjadi Ketua
Cabang Muhammadiyah Surabaya dan Konsul Muhammadiyah wilayah Jawa Timur.
Puncaknya adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
pada tahun 1937-1943.
Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah dalam kongres Muhammadiyah yang ke-26 di Yogyakarta pada bulan
Oktober 1937. Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansur banyak
didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas dan progresif.
Mas Mansur juga banyak melakukan gebrakan politik dengan mendirikan Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama K.H. Ahmad Dahlan, Hadratussyaikh. K.H. Hasyim
Asyari dan K.H. Wahab Chasbullah (tokoh NU).
Mas Mansur banyak menghasilkan tulisan tangan yang
berkualitas. Pikiran-pikiran pembaharuannya ia tuangkan dalam media massa.
Majalah yang pertama kali diterbitkan adalah Soeara Santri yang meraih
kesuksesan. Majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur adalah Djinem.
Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya. Selain itu,
beliau juga menuliskan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain Hadits
Nabawiyah, Sjarat Sahnja Nikah, Risalah Tauhid dan Sjirik, serta Adab al Bahts wa al
Munadharah.
Mas Mansur wafat dalam keadaan sakit ketika Perang Kemerdekaan pecah. Namun, beliau tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya, tentara NICA menangkap dan memenjarakannya di Kalisosok. Mas Mansur meninggal di dalam tahanan pada usia 49 tahun, pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya lalu dimakamkan di Gipo, Surabaya.
Author:
Vita Dzurratul (Bendahara Umum IMM KUF 2021-2022)
Editor: Fadhlur Rohman