Moeslim Abdurrahman dan Perseteruan NU-Muhammadiyah di Masa Kecilnya
Mengenal Kang Moeslim
Pada tulisan-tulisan yang lalu Tim Redaksi telah banyak
mengulas Kuntowijoyo dan pemikiran-pemikirannya. Kini mari kita berkenalan
dengan tokoh yang banyak mempengaruhi pemikirannya, yakni Moeslim Abdurrahman.
Selain itu ada kisah menarik semasa kecilnya di kampung,
terkait perseteruan NU dan Muhammadiyah yang cukup keras, diakibatkan oleh
persoalan yang sepele.
Moeslim Abdurrahman adalah cendekiawan muslim Indonesia. Ia
lahir di Lamongan pada 8 Agustus 1948. Kang Moeslim, sapaan akrabnya, berasal dari
keluarga petani. Tapi jika ditelusuri ia juga memiliki darah seorang priyai, seniman dan juga santri.
Kehidupan keluarga Moeslim sebagai petani berbeda dengan petani-petani
pada umumnya di Lamongan. Sebagaimana yang kita tahu petani identik dengan
massa NU, namun tidak dengan keluarga Moeslim.
Sebaliknya keluarga Moeslim justru cukup fanatik terhadap organisasi Muhammadiyah sejak dari kakeknya. Ia pernah menceritakan betapa keras keluarganya mendidik dirinya agar menjadi aktivis Muhammadiyah di kemudian hari.
Dan harapan kedua orang tuanya itu akhirnya bisa terwujud, karena Moeslim pada akhirnya mampu berkiprah di Muhammadiyah bahkan hingga jenjang Pimpinan Pusat, tepatnya menjadi Ketua Pimpinan Pusat di Bidang Buruh, Tani dan Nelayan.
Istrinya bernama Lily Agus Hidayati, anak seorang tokoh
Muhammadiyah di Kediri. Hasil pernikahannya dengan Lily Agus Hidayati, Moeslim
Memiliki dua orang anak, yaitu yang pertama bernama Ika Laili Rahmawati lulusan
FE Pancasila dan si bungsu Liana Ade Rahmawati lulusan Bachelor periklanan di
Urbana Amerika Serikat.
Jenjang Pendidikannya
Selepas Sekolah Rakyat pada pertengahan tahun 60-an, Moeslim
Abdurrahman dikirim oleh orang tuanya ke Pesantren Raudhatul ‘Ilmiyah di
Kertosono, Jawa Timur, Kyai-nya lama mukim di Mekah, nama beliau adalah Kyai
Salim Ahyar, seorang kyai yang juga merupakan murid generasi pertama dari Kyai
Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama.
Moeslim hanya bertahan selama tiga tahun di Pondok Pesantren
tersebut, kemudian ketika lulus setingkat SLTP ia melanjutkan sekolah di
Madrasah Aliyah di Solo. Obsesi Moeslim Abdurrahman saat itu adalah bagaimana
caranya menjadi mahasiswa.
Akhirnya Moeslim Abdurrahman mengambil studi Pendidikan Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), yang mengubah khazanah
keilmuan Moeslim karena mulai mengenal dunia akademis.
Perhatian dan keterlibatannya pada gerakan masyarakat (LSM)
dimulai ketika aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Solo. Sejak saat itu ia
mengikuti beberapa kegiatan LSM di Solo dalam pemberdayaan masyarakat miskin.
Sejak itu Moeslim mulai memiliki kepekaan akan realitas masyarakat yang timpang.
Selesai S1 Moeslim Abdurrahman melanjutkan studi pasca
sarjana jurusan Antropologi di University Illinois, Urbana, Champaign, Amerika
Serikat, dan selesai tahun 1996.
Pada tahun 2000 Moeslim Abdurrahman meraih gelar Ph.D dalam
kajian Antropologi di University of Illinois at Urbana-Champaign dengan desertasi
berjudul On Hajj Tourm: In Search of Pity and Identity in The New Order Indonesia.
Perseteruan NU-Muhammadiyah di Masa Kecil
Ada kisah menarik yang dialami oleh Moeslim terkait perseteruan NU dan Muhammadiyah semasa kecilnya. Padahal yang mereka pertentangkan adalah hal-hal kecil dan sepele hingga menjadi besar.
Misal saja, pada suatu hari madrasah yang dibangun orang tua Moeslim yang terbuat dari bahan-bahan dari pohon kelapa, ambruk karena tertiup angin kencang. Betapa sedih hati ayahnya yang seorang tokoh Muhammadiyah.
Sementara itu, orang-orang Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi musuh Muhammadiyah saat itu, senang bukan main melihat kejadian tersebut. Mereka menafsirkan itu sebagaipetanda bahwa madrasah yang didirikan oleh kelompok Islam sesat itu tidak mendapat ridho dari Allah.
Untuk melawan narasi tersebut, ayahnya, berkampanye untuk meyakinkan bahwa
kejadian itu harus dibaca lain. Kita, maksudnya orang-orang Muhammadiyah, sedang dicoba oleh Allah, apakah
bisa bertahan di jalan yang benar.
Begitulah Moeslim Abdurrahman menggambarkan nuansa konflik Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah ketika itu. Padahal, kalau dicermati lebih lanjut, itu
hanya persoalan tukang dan bahan bangunan yang tidak ada hubungan sama sekali
dengan takdir Tuhan.
Namun karena begitu keras perseteruan NU-Muhammadiyah di
akar rumput, sehingga persaingannya sering kali dilegitimasi dengan
narasi-narasi teologis ilahiah. Seolah-olah kelompoknya yang diridhai oleh Sang
Ilahi, dan kelompok yang lainnya tidak.
Tetapi justru dari pertentangan yang keras semasa kecil itu, menyadarkan Moeslim untuk tidak terlibat dengan isu sektarian, dan lebih fokus terhadap isu-isu yang lebih substansial, yakni terkait keberpihakan pada kaum papa yang ditindas oleh struktur ekonomi yang tidak adil.
Gagasannya yang paling dikenal adalah tentang Islam Transformatif, dengan kata lain, Islam yang berpihak pada kaum mustadh'afin.
Author: Tim Redaksi
(Fadhlur Rohman, Rifaldo Musthofa, & Ayfa FE Auni)