Jamiatul Khair Gerbang Pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan
Pergerakan melawan penjajah Indonesia mulai mengalami perubahan pada awal abad XX. Perubahan ini ditandai dengan beberapa peristiwa baik dari luar maupun dari dalam.
Faktor luar yang mempengaruhi dengan diberlakukanya politik etis oleh belanda. Hal tersebut memberikan ruang untuk rakyat mendapatkan pendidikan. Walaupun, praktek politik etis masih memihak kaum menengah keatas.
Faktor internal ditandai dengan lahirnya orang-orang berpendidikan yang sadar akan persatuan. Kesadaran ini timbul karena pergerakan perlawanan penjajah masih bersifat kedaerahan.
Selain itu, faktor internal lainnya adalah lahirnya organisasi pada awal abad XX yang memfokuskan pergerakannya pada pendidikan.
Jamiatul Khair adalah organisasi Islam pertama di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada 1901. Tetapi, belum mendapat izin dari pemerintah Belanda saat itu. Pada tahun 1905, organsasi ini mendapatkan izin dari pemerintah Belanda. Karena, Belanda menganggap organisasi ini tidak merugikan Belanda.
Organisasi ini diprakarsai oleh Sajid Al-Fachir bin Abdoerrahman Al-Masjhoer, Sajid Mohammad bin Abdoellah bin Shihab, Sajid Idroes bin Achmad bin Shihab, Sajid Sjehan bin Shihab.
Jamiatul Khair didirikan oleh para bangsawan Arab yang mayoritas anggotanya ialah orang Arab. Sehingga, organisasi ini tidak masuk dalam organisasi Islam Indonesia.
Jamiatul Khair ini bertujuan untuk pembinaan pendidikan dan pengiriman pelajar ke Turki. Hadirnya organisasi ini bermanfaat bagi Indonesia. Karena, pengiriman pelajar tersebut menimbulkan jaringan dengan wilayah Islam.
Jamiatul Khair untuk pertama kalinya mendirikan sekolah di Tanah Abang, Batavia. Pada awal pendirian sekolah tersebut kekurangan guru. Sehingga, organisasi ini mendatangkan guru dari timur tengah seperti Kairo, Mesir.
Pendatangan guru dari Timur Tengah tersebut bernilai positif bagi pendidikan di Indonesia. Karena, zaman tersebut Timur Tengah mulai berkembang pembaruan dan semangat nasionalisme.
Jaringan pendidikan Islam yang dibangun oleh Jamiatul Khair ini dimanfaatkan K.H. Ahmad Dahlan atau Kyai Dahlan (Pendiri Muhammadiyah pada 18 November 1912) untuk memahami Islam lebih dalam. Kyai Dahlan masuk ke Jamiatul Khair pada awal pemebentukannya dengan nomor keanggotaan 770.
Ada dua alasan mengapa Jamiatul Khair sangat bermanfaat bagi Kyai Dahlan. Pertama, Kyai Dahlan mendapat tawaran untuk melaksanakan haji ke Mekah oleh petinggi Jamiatul Khair.
Alasan ini sesuai dengan keinginan Kyai Dahlan yang ingin mendalami Islam lebih dalam. Kesempatan itu didukung dengan mewabahnya pemikiran pembaruan yang berkembang di Mekah dan Madinah.
Kesempatan haji kedua dilakukan pada tahun 1903-1905. Perubahan keilmuan Haramayn menuju pemabaharuan menjadi pembeda dari haji pertama. Haji pertamanya lebih banyak berguru pada ulama Islam tradisional. Sedangkan, pada haji kedua, Kyai Dahlan belajar pada ulama Islam modern seperti Rasyid Ridha..
Hausnya akan keilmuan Kyai Dahlan khususnya ilmu Islam terbayar tuntas. Beliau menemukan kitab-kitab yang tidak beredar di Indonesia. Kitab-kitab tersebut merupakan kitab karangan para tokoh pembaharu yang mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah.
Tokoh-tokoh tersebut antara lain Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab dan lainya.
Kitab-kitab pembaharu ini dipelajari oleh Kyai Dahlan yang cerdas dalam memahami kitab-kitab yang sulit. Beberapa karya kegemaran dari kiai Dahlan antara lain : Risalah Tauhid, Tafsir al-Manar, Tafsir Juz ‘Amma, al-Islam wal-Nasraniyah, Tawasul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah, Idharul Haq karya al-Hindi, Da’iratul Ma’arif karya Farid Wajdi, kitab hadis karya ulama mazhab hambali, al-Urwah al-Wusqa karya Muhammad Abduh. Melalui al-Urwah al-Wusqa, Kyai Dahlan mulai menyukai pemikiran dari Muhammad Abduh.
Kyai Dahlan pada haji keduanya bertemu dengan Rasyid Ridha. Rasyid Ridha adalah salah satu pembaharu yang berasal dari mesir. Beliau dipertemukan dengan Rasyid Ridha oleh Bakir semasa di Mekah.
Kesempatan ini tentunya digunakan kiai Dahlan dengan baik. Beliau berdiskusi dengan Rasyid Ridha secara langsung. Diskusi ini sebagai jembatan pemikiran Rasyid Ridha untuk dapat diserap oleh kiai Dahlan.
Kedua, Kyai Dahlan memanfaatkan jaringan Islam Internasional yang dibangun oleh Jamiatul Khair untuk mengembangkan keilmuanya. Jaringan ini dibangun antara Jamiatul Khair dengan pemimpin Islam di seluruh dunia.
Selain mendatangkan guru dari timur tengah, karya para tokoh pembaharu seperti majalah juga didatangkan oleh Jamiatul Khair.
Karya tersebut menjadi bacaan wajib bagi anggota Jamiatul Khair untuk mendapat kabar Islam di seluruh dunia. Salah satu majalah yang didatangkan antara lain Al-Manar karya Muhammad Abduh.
Al-Manar menjadi bacaan kiai Dahlan untuk mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh yang sudah ia pelajari sebelumnya di Makkah.
Kiprah Jamiatul Khair sebagai pembentuk jaringan Islam internasional di Indonesia tidak berlangsung lama. Belanda mulai mencurigai terhadap aktivitas organisasi. Belanda mulai melihat Jamiatul Khair sedikit merubah orientasinya. Hal tersebut dibuktikan dengan masuknya pemahaman dunia Islam yang tersadar akan nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajah.
Sejak analisa Snouck Hurgronje, Belanda mulai membatasi mengenai Islam politik. Jamiatul Khair yang awalnya bergerak di bidang pendidikan dinilai merambah ke Islam politik. Penilaian Belanda berdasarkan pada jaringan Jamiatul Khair dengan pemimpin dan pembaharu Timur Tengah.
Peristiwa ini mengakibatkan beberapa tokoh nasional mencari jalan keluar. Hingga dibentuknya Budi Utomo sebagai penerus Jamiatul Khair. Nama Budi Utomo diambil dari bahasa Jawa yang berarti Jamiatul Khair dalam bahasa Arab.
Selain itu, perubahan juga terjadi pada identitas organisasi. Jamiatul Khair mayoritas diisi oleh orang keturunan Arab. Sedangkan, Budi Utomo diisi oleh orang pribumi asli.
Sehingga, Budi Utomo menjadi organisasi Indonesia pertama dan penerus organisasi Jamiatul Khair untuk memajukan pendidikan.
Author: Irfan Zakariah (Anggota Bidang RPK PK IMM Al-Kindi 2021-2022)
Editor: Fadhlur Rohman