Kuntowijoyo dan Ilmu Sosial Profetik: Sebuah Pengantar
Mengenal Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Bantul, Yogyakarta pada tanggal 18 September 1943. Dia adalah putra dari H. Abdul Wahid Sosroatmojo dan Hj. Warasati. Ia dikenal dengan berbagai gelar yang ia sandang, mulai dari sejarawan, sastrawan, budayawan dan juga cendekiawan. Kuntowijoyo memang sangat produktif menghasilkan karya baik di bidang keagamaan, sastra maupun sejarah.
Jika menelisik asal usulnya, Kuntowijoyo adalah anak dari seorang priyai Jawa. Selain itu dia juga lahir dari keluarga yang terdiri dari orang NU dan Muhammadiyah. Sehingga secara kultur dan basis intelektual, ia turut dipengaruhi oleh dua corak pemikiran Islam mainstream yang ada di Indonesia itu. Dia memulai jenjang pendidikannya di Sekolah Rakyat Klaten pada tahun 1956.
Sejak kecil ia dikenal tekun dalam menimba ilmu. Dikisahkan Kuntowijoyo kecil, tidak seperti anak kecil pada umumnya yang hanya menyibukkan diri dengan bermain, ia justru lebih suka pergi ke Masjid selepas Dhuhur hingga Ashar untuk memperdalam ilmu agamanya. Pada malam harinya, selepas Isya, ia akan kembali ke Masjid untuk mengaji. Di Masjid pulalah ia nanti akan menemukan bakat menulisnya, terlebih ketika ia aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
Kehidupan masa kecilnya yang intens ia habiskan di Masjid juga mengenalkan dia pada organisasi Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, yakni Muhammadiyah. Dari pertemuannya dengan Muhammadiyah inilah yang banyak mempengaruhi pemikirannya tentang Islam sebagau sebagai basis amaliyah praktis, sebagai sebuah basis gerakan.
Setelah tamat dari SMP di Klaten pada tahun 1959, ia memutuskan untuk merantau ke Solo demi bisa melanjutkan pendidikannya di jenjang SMA. Di masa SMA inilah gairahnya pada buku dan dunia pemikiran semakin menggeliat, hingga akhirnya ia tamat SMA pada tahun 1962. Setelah tamat SMA ia melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada (UGM).
Masa kemahasiswaannya dihabiskan untuk menghasilkan karya-karyanya, mulai dari puisi, cerpen, novel, esai, dan naskah drama. Tulisannya tersebar di mana-mana, mulai dari Majalah Sastra, Horison, Kompas, Republika, Bernas dan lain sebagainya. Ia menamatkan kuliahnya di tahun 1969. Ia melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, yakni di negeri Paman Sam, tepatnya di University of Connectitut dan menyelesaikan kuliah S2-nya pada tahun 1974. Selain itu gelar Ph.D pun juga ia raih di Columbia University pada tahun 1980.
Setelah menamatkan studinya di Amerika Serikat, ia kembali ke tanah air dan mengabdikan seluruh ilmunya di Indonesia. Atas pengabdiannya di dunia akademik yang luar biasa itulah ia mendapatkan gelar Guru Besar Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya UGM pada tahun 2001. Selain di dunia akademik, ia juga banyak terlibat dalam beberapa ormas seperti, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan menjadi anggota Pusat Pengkajian dan Studi Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta pimpinan Amien Rais saat itu.
Masalah-masalah yang Melahirkan Ilmu Sosial Profetik
Gagasan tentang Ilmu Sosial Profetik, sebagai sebuah paradigma baru dalam Ilmu Sosial tentu lahir bukan dari ruang hampa. Kuntowijoyo melihat beberapa persoalan yang ia temukan baik di dalam umat Islam sendiri, maupun dari ideologi positivisme yang menjadi paradigma ilmu-ilmu sosial yang ia rasa jauh dari nilai praxis dan perjuangan atas keadilan. Kegelisahan yang Kuntowijoyo rasakan ini nantinya akan membuat ia terdorong untuk membuat satu basis keilmuan baru, dengan Islam sebagai basis paradigma, bukannya basis hukum. Karena ia melihat Islam, dalam arti pehaman atas Al-Quran dan Sunnah, telah dikerdilkan hanya sebagi kitab hukum, semata.
Pertama, Perdebatan Teologis dalam Umat Islam. Perdebatan teologis yang terjadi antara para cendekiawan muslim di Indonesia, di sekitar tahun 80an, barangkali menjadi pemicu awal dari lahirnya gagasan tentang Ilmu Sosial Profetik. Dalam diskursus terkait teologi itu, umat Islam, terutama para cendekiawannya, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama melihat teologi adalah ilmu kalam itu sendiri, sebagai hasil dari pemikiran ulama klasik dalam dunia Islam. Sehingga penguatan atas teologi diartikan dengan mengkaji kembali hasil karya-karya klasik yang mengkaji tentang teologi itu.
Kelompok kedua memiliki pandangan yang cukup revolusioner tentang teologi. Teologi dipersepsi sebagai kerangka dalam menafsirkan realitas dalam perspektif ketuhanan, sehingga pandangan ini lebih bernuansa reflektif atas kenyataan-kenyataan empiris. Intinya kelompok kedua lebih menekankan aspek kekinian, dan kontekstualisasi teologi atas masalah riil umat Islam dan umat manusia pada umumnya di masa yang sekarang ini. Dari paradigma itu lahirlah berbagai pemikiran, seperti “Teologi Transformatif” yang diusung oleh Moeslim Abdurrahman, ada pula “Teologi Pembebasan” dan sebagainya.
Kuntowijoyo melihat, perdebatan antara kelompok pertama dan kedua ini tidak kunjung menemukan titik temu. Satu sisi, Kuntowijoyo sendiri sepakat pada pemikiran kelompok yang kedua, terkait kontekstualisasi atas masalah riil yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini, namun ia melihat penggunaan term “Teologi” agaknya menjadi sukar diterima oleh umat Islam, karena sering disepadankan dengan Akidah atau Tauhid. Oleh karena itu Kuntowijoyo mengusulkan nomenklatur Ilmu Sosial Profetik, dengan begitu diskursus menjadi luas, dan tidak hanya mnegkaji terkait Teologi saja.
Kedua, Ilmu yang Makin Jauh dengan Agama. Melalui pengamatan dan analisis terhadap ilmu-ilmu sosial yang berkembang, Kuntowijoyo menarik sebuah kesimpulan bahwa peta pemikiran sosial di kalangan Barat hanya berkembang dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim yang lain, kejadian tersebut diakibatkan oleh pengakuan pada kebenaran mitologi Yunani yang meyakini bahwa manusia terbelenggu oleh Tuhan, yang kemudian dibenturkan oleh para filosof. Kemudian di zaman Skolastik, kebenaran yang dimonopoli oleh Gereja yang menjadi perwakilan Tuhan di muka bumi, yang berhasil dilawan di era renaisans yang seolah anti Tuhan. Penegasian atas Tuhan inilah yang nantinya menjadi basis pikir dari pemahan Sekuler, yang menjauhkan ilmu dari agama. Sehingga kini kita rasakan ilmu menjadi kering atas nilai spiritualitas.
Dalam gagasannya tentang Ilmu Sosial Profetik, Kuntowijoyo ingin mengembalikan agama sebagai basis paradigma dalam melahirkan ilmu. Jadi bukannya menolak nilai-nilai agama, ataupun mengagamakan Ilmu sebagai mana ide Islamisasi ilmu. Melainkan ia ingin menjadikan agama (Islam), sebagai basis paradigma dari lahirnya ilmu pengetahuan baru.
Ketiga, Degradasi Nilai Manusia secara Besar-besaran. Moderenisasi yang ditandai dengan semangat industrialisasi dan teknokrasi, sangat diyakini oleh Kuntowijoyo akan melahirkan moralitas baru yang menekankan aspek rasionalitas ekonomi (market situation) dan pencapaian perorangan (individualistic). Manusia diposisikan tidak ubahnya sebagai agen- agen ekonomis yang senantiasa bertarung untuk memperkuat bargaining individualnya.
Tiga faktor di atas itulah yang nantinya menjadi alasan kuat bagi Kuntowijoyo untuk melahirkan satu paradigma keilmuan baru, yang lahir dari rahim Islam. Sehingga Islam tidak lagi hanya dimaknai sebagai dogma hukum, atau ideology politik saja, melainkan juga sebagai disiplin Ilmu baru yang mampu menjawab problematika riil yang dihadapi oleh umat Islam, maupun oleh umat manusia pada umumnya.
Author: Tim Redaksi
(Fadhlur Rohman, Rifaldo Musthofa, & Ayfa FE Auni)